Sukses

Lifestyle

Tinggal di Rumah Mertua dengan Anak yang Sering Sakit, Posisiku Serba Salah

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Di awal pernikahan tahun 2010 saya hidup berjauhan dengan suami yang kebetulan waktu itu bekerja di luar Jawa sampai usia anak saya yang pertama 7 bulan dan sering sakit-sakitan. Saya tinggal di rumah milik mertua saya yang lokasinya masih satu RT dengan mertua. Setiap bulan sampai empat kali anak periksa dan saya butuh suami di samping saya.

Saya mengajukan kepada suami agar beliau resign dari pekerjaannya yang sudah dijalani selama sepuluh tahun, dan saya sadar akan konsekuensinya dengan otomatis saya yang menjadi tulang punggung keluarga. Saya bekerja di perusahaan kecil dengan gaji yang pas-pasan. Kehidupan terus berjalan, tak terasa tabungan kami habis untuk biaya pengobatan anak yang terkena bronchitis, penyakit mata, dan penyakit lainnya. Perekonomian keluarga mulai goyah, suami sudah 1,5 tahun belum dapat pekerjaan baru.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Keadaan kami pada saat itu dipandang sebelah mata oleh mertua. Bahkan suami saya tidak dikasih tahu kalau adiknya akan menikah padahal kami tinggal masih satu RT dengan mertua. Kami tahunya dari tetangga. Suatu sore mertua datang ke rumah bilang kalau saya nanti tidak usah ikut ke acara ngunduh mantu ke rumah suaminya di kota sana. Saya hanya bisa menangis dalam hati kecil, saya yakin keadaan akan kembali normal dan saya tidak akan mengemis sepeser pun kepada mertua.

Saya mulai memantapkan hati mencoba mencari sampingan dengan berjualan bawang merah ke warung makan, ke teman–teman. Saya juga ikut keanggotaan MLM berjualan barang-barang plastik dan alhamdulillah hasilnya bisa membantu perekonomian keluarga. Meskipun suami saya malu melihat saya kerja dan berdagang, pertengkaran pun tak terelakkan, akhirnya saya putuskan tidak berjualan lagi untuk menghormati suami saya dan hanya mengandalkan gaji bulanan.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Suatu hari di bulan Mei anak saya harus opname. Seketika itu batinku menjerit. Ya Allah ini apalagi, kuatkan aku. Kebetulan dokter yang menangani anak saya dari awal memberi dua pilihan rumah sakit kelas atas di kota saya. Saya menawar di rumah sakit biasa tapi dokter bilang hanya praktik di dua rumah sakit tersebut. Waktu itu saya hanya punya cincin perkawinan dan tidak bisa menutupi biaya rumah sakit. Saya tidak tega mendengar anak menangis kesakitan. Saya bingung mau utang ke mana. Mau pinjam uang kantor, pinjaman yang dulu saja belum lunas. Saya memberanikan diri telepon adik saya yang jauh di kota sana. Alhamdulillah dapat pinjaman dan saya bilang akan melunasi dengan dicicil.

Setiap langkah saya menguatkan diri dalam hati insyaallah saya bisa, saya bisa melewati ini semua. Sehari di rumah sakit, suami dapat telepon dari nomor tak dikenal, dan alhamdulillah di tengah kesedihan ada kabar bahagia suami diterima kerja. Saya yakin dengan ikhtiar dan rasa syukur kepada Allah pasti akan ditambah rezeki kita entah itu dari mana datangnya kita tidak tahu. Gaji pertama suami tidak seberapa jauh, di bawah UMK 2013 kala itu dan saya ikhlas menerimanya. Alhamdulillah kehidupan kami mulai membaik, meski belum 100%.




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading