Sukses

Lifestyle

Setelah Rahimku Diangkat, Salahkah Bila Kuizinkan Suami Berpoligami?

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Manusia adalah makhluk paling mulia ciptaan Tuhan. Manusia diberi akal pikiran dan hati nurani untuk menentukan mana yang baik dan buruk. Mana keputusan yang harus diambil, mana yang harus diacuhkan, seperti saat kita melewati kerikil ketika berjalan.

Saya pikir setiap manusia melewati fase tyranny of or dalam hidupnya. Tyranny of or adalah suatu fenomena yang saya pelajari dari sebuah kelas bisnis bersama Coach Dr El Fahmi, beliau adalah salah satu Indonesian International Leader Coach di Indonesia. Tyranny of or merupakan suatu keadaan di mana sebuah bisnis yang tengah berkembang akan dihadapkan pada situasi harus memilih. Harus memilih antara stagnan dalam satu outlet kemudian memaksimalkan produksi dengan tenaga seadanya, atau mengembangkan outlet kemudian membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. Pilihan yang sulit bukan? Namun kita dipaksa untuk memilih jika tidak ingin bisnis kita berhenti atau stuck di situ-situ saja.

Begitu juga dengan saya, Anda atau orang lain di luar sana yang hidup sebagai manusia. Sejak kecil kita sudah dihadapkan pada sebuah pilihan, seperti,  
Kamu mau coklat atau permen?
Mau beli tas atau sepatu?

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Biasanya kita akan memilih mana yang kita butuhkan saat itu. Ketika sudah mendapatkannya, bisa jadi kita akan menyesal. Kenapa tadi tidak memilih sepatu ya? Sebentar lagi sepatuku juga usang. Begitulah kehidupan. Kadang apa yang menjadi pilihan bagi kita saat itu suatu saat akan dirasa membosankan dan ingin rasanya mengubah pilihan. Sayang sekali waktu tidak bisa kita putar kembali untuk mengganti pilihan yang sudah kita tentukan. Begitu juga dengan saya.

Saat itu sekitar dua atau tiga bulan setelah saya menikah di bulan April 2013, saya dihadapkan pada sebuah pilihan sebagai wanita. Baru beberapa bulan menikah saya mulai merasakan sakit di bagian perut dan sedikit flek seperti siklus haid pada umumnya. Awalnya saya mengacuhkan kesakitan saya, karena selama haid dari gadis hingga sekarang saya tidak pernah mengalami kram perut. Tapi berlalu berminggu-minggu, rasa sakitnya semakin mengganggu hingga akhirnya saya harus segera periksa ke dokter.

Saat itu saya langsung menuju dokter kandungan langganan keluarga saya. Bagai petir di siang bolong, betapa syoknya saya saat itu ketika mendengar informasi dari dokter tentang hasil USG yang sudah saya lakukan. Ternyata saya mengidap myomi uteri. Persis menempel dan menempati tempat bayi. Saat itu dokter spesialis kandungan menyarankan untuk terapi hormon terlebih dahulu, menimbang usia pernikahan saya yang masih baru. Dengan harapan, myoma tersebut akan mengecil dan hilang dengan sendirinya sambil berikhtiar dikaruniai permata hati.

Selama beberapa bulan saya mengalami pendarahan meskipun sudah melakukan terapi hormon lewat pil yang diberikan oleh dokter. Hingga saya harus melakukan transfusi 3 bulan sekali, karena kadar Hb yang sangat rendah dan sangat membahayakan jantung dan organ vital lain. Selama hampir satu tahun saya bedrest, tidak melakukan aktivitas apapun, bahkan terpaksa saya harus cuti kuliah (saat itu saya sedang melanjutkan kuliah juga). Bahkan untuk sekadar ke kamar mandi pun saya memakai kursi roda dengan dibantu ayah, ibu, adik atau suami. Saat itulah masa-masa krisis dalam hidup saya. Krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis percaya diri, ah betapa lemahnya saya saat itu hingga ingin rasanya menyerah pada keadaan.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Beruntungnya saya memiliki keluarga dan suami yang selalu mendukung dan memotivasi saya untuk sembuh. Berbagai ikhtiar kami lakukan dalam kurun waktu satu tahun tersebut. Mulai dari transfusi darah tiap dua atau tiga bulan sekali, mengonsumsi obat herbal, jamu, terapi fisik maupun obat-obatan, dan lain-lain. Intinya tahun itu semua gaji suami saya habis hanya untuk pengobatan.

Pada akhirnya di pertengahan tahun 2014 takdir Allah berkata lain. Saat itu saya benar-benar dalam kondisi lemah, kadar Hb hanya 3 koma sekian, ditambah kram perut yang tidak berkesudahan. Akhirnya ayah saya yang selalu tidak tega melihat saya kesakitan mendorong saya dan suami untuk segera melakukan saran dokter, yaitu operasi histeroktomi. Merelakan segala yang saya punya dan berserah diri pada Allah, mencoba mencintai takdir.

Saya pun sudah lama sebenarnya tidak tahan dengan kondisi tubuh saya sendiri, hanya saja saya masih menyimpan harapan, begitu juga dengan suami. Tapi keajaiban tidak kunjung datang. Agaknya memang inilah jalan saya. Dengan kondisi Hb yang membahayakan dan dokter tidak lagi merekomendasikan transfusi, karena sudah berkali-kali melakukan transfusi dalam setahun maka dokter pun menyarankan untuk operasi histeroktomi agar fungsi vital tubuh juga tidak terganggu. Dengan kondisi pasrah, saya dan suami akhirnya menyetujui.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Bagaimana seorang wanita merasa dirinya utuh ketika rahimnya diangkat? Umur pernikahan satu tahun dan harus merelakan bahwa saya tidak akan bisa punya anak secara medis adalah hal yang sangat menyedihkan. Marah iya, sakit iya, tapi inilah pilihan hidup saya. Sebelum dioperasi, saya berjanji pada diri saya sendiri. Ketika nanti operasi berhasil dan saya bisa berkativitas seperti biasa, saya akan mengabdikan diri untuk masyarakat, untuk ummat.

Saya tidak lagi melarang suami saya untuk berpoligami, bahkan saya menawarkan padanya untuk menceraikan saya. Melihat suami saya adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarganya, bagaimana saya tega membatasi suami saya untuk tidak punya istri lagi sedangkan saya tidak akan bisa memberikan keturunan untuk keluarganya.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Begitulah pilihan. Kadang saya menyesal, andai saya bisa bertahan lebih lama. Tapi justru kalimat andai itu sendiri yang tak kunjung menyembuhkan luka. Akhirnya tahun demi tahun saya bisa melewati kehidupan dengan lebih produktif, meskipun saya sudah bukan lagi wanita seutuhnya yang bisa melahirkan anak dari rahimnya sendiri. Banyak pertanyaan di sana sini, kenapa tidak kunjung punya anak? Kok belum program hamil? yang selalu saya jawab dengan senyuman dan, “Doanya ya.”

Beberapa bulan setelah operasi pengangkatan rahim, saya aktif dalam sebuah organisasi perempuan. Saya mulai menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, membantu dakwah sosial bersama teman-teman, mengoordinir sebuah komunitas membaca, menjalankan sebuah Posyandu Remaja Keliling yang melayani pelayanan kesehatan, konsultasi gizi, konsultasi psikologi dan hal-hal edukatif lain yang saya bagi dengan adik-adik remaja di lingkungan sekitar.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Saya benar-benar mengabdikan diri, waktu, tenaga, materi dan pikiran saya sesuai janji dengan diri sendiri untuk mereka yang membutuhkan. Membantu menebar kebaikan bersama teman-teman dalam organisasi sosial yang saya geluti sampai saat ini. Inilah pilihan hidup saya. Mungkin kelak ketika saya tua, hidup saya akan sepi, tidak ada yang menemani. Tapi inilah pilihan hidup, saya tidak peduli itu, yang terpenting saat ini saya mencari bekal kebaikan sebanyak-banyaknya sebagai teman ketika saya nanti mati. Saya sudah melewati fase tyranny of or terberat dalam hidup saya, sekaranglah saatnya saya menggapai kemenangan kecil atas pilihan saya sendiri.







(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading