Sukses

Lifestyle

Saat Tuhan Memberi Air Mata, Itu Ujian Agar Kamu Lebih Kuat di Masa Depan

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Assalamualaikum warrahmatulahi wabarokatuh,
Salam perjuangan dan cinta untuk kalian yang tengah berjuang untuk UNBK.

Perkenalkan saya Retnosari Widiastutik dari Universitas Negeri Semarang Fakultas Ekonomi, akuntansi 2017.
Perkenankanlah saya untuk membagi sedikit kisah saya. Bukan berniat sombong atau riya’ karena kisah ini ada semata-mata karena kehendak-Nya. Mungkin saya hanya mahasiswi yang belum bisa dikatakan sukses. Namun, saya telah berhasil lolos jalur SNMPTN dan bisa menginjakkan kaki di salah satu universitas terbaik di Jawa tengah. Salah satu bukti terwujudnya mimpi pertama saya.

Bismillahirrohmannirohim,
Aku terlahir dari keluarga sederhana yang bisa dikatakan cukup. Karena Allah tidak pernah menjadikan manusia miskin. Namun, kadang manusia sendirilah yang kurang bersyukur atas rezeki yang telah diberikan oleh Tuhan.

Aku bukanlah seorang siswi yang pintar ketika SD. Jika dilihat aku termasuk golongan sedang-sedang saja. Begitulah kata guru SD favoritku ketika kelas 6. Namun, aku memiliki keberanian yang lebih daripada yang lain.

Ketika kelas 6 aku selalu menjadi dirigen ketika upacara dan ketika menyanyikan lagu daerah setiap hari Sabtu. Itu menjadi nilai plus tersendiri bagiku. Bahkan kalian tahu peringkat terbaik yang aku dapat berada di  angka 14. Itu pun hanya sekali, kebiasaanku sederhana hanya bermain dan bermain tanpa kenal waktu. Dan belajar ketika ujian itulah kebiasaanku.

Beranjak dari SD ibu memutuskan untuk menyekolahkanku di MTS Al-Hidaya Kradenan. Aku berasal dari SDN 2 Banjardowo, salah satu SD desa sebelah yang dekat dengan rumahku.

Selama di MTS, aku pernah mendapatkan peringkat 1 itu pun hanya sekali. Pernah tidak masuk 10 besar? Ya, tentu pernah ketika aku kelas 2 MTS. Ketika kelas 2 aku sudah berpikir akan kerja di mana setelah aku lulus nanti. Karena bagi keluarga besarku lulusan MTS/SMP sudah umum di lingkungan masyarakat. Setiap hari yang aku lakukan hanya pergi bermain dengan teman-temanku. Biasanya hanya bersepedaan dan jalan-jalan ke tempat wisata terdekat di daerahku. Kisah piluku aku pernah hampir putus sekolah ketika kelas 2 karena sebuah bully-an.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Namun aku bisa tetap bertahan sampai lulus disekolah yang sama karena semangat dari mereka. Ibu mendidikku untuk menjadi wanita pemberani yang tak pernah takut apapun. Karena ibu dan ayah tahu bahwa kehidupan di luar sana sangat keras. Karena sifatku yang susah diatur hobi keluyuran bahkan ibu pernah sakit gara-gara kelakuanku. Dosa terbesarku yang tak pernah aku sadari ketika ibu merindukan kehadiranku di rumah aku selalu asyik bermain dengan teman-temanku.

Ibu sering marah ketika aku pulang sore. Hingga akhirnya ketika aku kelas 3 aku mulai menghentikan kebiasaan bermain. Aku lebih sering menulis puisi di buku tulis dan beberapa diary kesukaanku. Bahkan sejak aku kelas 3 aku mulai hobi membaca buku di perpustakaan. Tak terasa waktu ujian nasional telah selesai aku lewati. Satu bulan aku libur di rumah aku memutuskan untuk bekerja di Surabaya.

Ibu mengantarku ke rumah adiknya. Jujur dalam benakku aku masih berharap bisa melanjutkan ke SMA. Sesampainya di sana aku tidur selama 3 hari di rumah omku ditemani ibu dan adikku, lalu ketika ibu pulang aku malah ikut pulang. Rasanya belum siap jika aku harus mengarungi kerasnya kehidupan di luar. Ketika aku pulang, banyak temanku yang sudah daftar ke SMA/SMK swasta yang telah terbuka, sedangkan aku belum tahu harus melanjutkan ke mana. Aku hanya melihat dan mendengar cerita dari sahabatku yang telah usai mendaftar di SMK.

Rasanya ingin marah dan menangis. Namun, aku tak bisa menyalahkan takdir, akhirnya suatu pagi ibu memutuskan untuk mendaftarkanku di salah satu SMA Negeri di dekat desaku. Sontak aku terkaget, ayah memutuskan untuk merantau ke luar kota untuk mencari biaya sekolahku. Aku benar-benar bersyukur. Ayah bilang, “Zaman sekarang butuh ijazah SMA untuk agar mudah dalam mencari kerja.” Itulah motivasi ayah untuk menyekolahkanku.

Sesampainya di SMA ternyata pendaftaran belum dibuka. Masih harus menunggu beberapa minggu lagi. Aku pulang dengan ibu ke rumah dan setelah wisuda MTS. Aku mendaftar ke SMA N1 Kradenan sendirian. Dari pagi sampai pendaftaran ditutup namaku tidak dipanggil sekalipun. Padahal saat itu baru proses pemberkasan. Sampai akhirnya pihak panitia mulai mencari berkas yang aku kumpulkan. Dan ternyata terselip ke ruangan berikutnya.

Singkat cerita, aku diterima di SMA N 1 Kradenan dari sekitar 500-an lebih pendafatar hanya lolos sekitar 327 dan aku berada diperingkat 74 jika tidak salah. Daftar ulang, MOS semua aku lewati dengan sabar. Hingga sekolah perdanaku dimulai, aku merasakan masa kelas 1 sangat menyenangkan. Punya banyak teman, saat itu aku punya teman dekat, dia teman SD-ku. Aku sering bermain dengannya. Dia anaknya rajin, jarang main keluar, bahkan jika keluar dengannya hanya mengerjakan tugas.

Uang sakuku waktu itu hanya Rp5.000 dan bagiku itu sudah banyak untuk beli jajan dan beli makan. Setiap pagi ibu selalu menyiapkan sarapan, jadi sekalipun aku tidak sarapan di rumah bisa terhitung jari.

Semester satu berakhir dan kalian tahu aku mendapatkan peringkat 2 setelah sahabatku itu. Aku mulai belajar menyesuaikan keadaan. Pernah suatu ketika aku sakit gara-gara aku kaget dengan metode belajar di sekolah negeri yang benar-benar tinggi kompetisinya. Aku tidak terlalu berambisi menjadi yang terbaik. Hanya saja untuk menghindarkan diri dari remidi yang memakan banyak uang seperti semester 1.

Singkat cerita di semester dua aku lalui dengan baik. Lagi-lagi aku mendapat peringkat yang tak pernah aku sangka. Ya, peringkat 1, nilai yang tidak berkah itu menjadikan aku berbangga diri. Namun sekarang nilai itulah yang membuatku menangis saat ini. Hobiku mungkin umum mencontek atau menconteki teman, kebiasaan buruk itu berlangsung selama 2 semester. Tidak semua mata pelajaran, hanya beberapa saja yang mengharuskanku membawa buku kecil sebagai cadangan. Padahal kalau dipikir-pikir contekan sekecil itu bisa di hafal 5 menit tanpa harus membukanya.

Menyesal! Itulah yang bisa aku katakan. Entah dari mana hidayah itu berasal saat itu aku menjadi pementor untuk adik-adikku, memberi saran memang mudah. Mengisi materi memang sangat mudah. Namun, yang susah itu ketika kita dituntut untuk sesuai dengan apa yang kita katakan.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Saat itu aku mengerti makna uswatun khasanah. Lalu setiap malam aku bercermin pantaskah aku untuk menjadi seperti yang mereka katakan? Aku mulai belajar tentang Islam yang sebenarnya. Mengisi materi setiap Rabu-Kamis dan berusaha untuk sesuai dengan apa yang dikatakan. Ya, itu tak mudah. Sampai akhirnya aku temukan sebuah hadist. ”Barang siapa yang berbuat curang, niscaya dia bukan kaumku."

Mulai semester 1 kelas 2 aku menangis dengan penuh penyesalan. Jika aku bukan kaum Rasulullah lantas kaum siapa lagi? Setiap hari aku dilanda dilema ingin rasanya menyampaikan kebenaran ini untuk adik-adik tercintaku. Namun, pantaskah aku? Itulah yang menjadi pertanyaan disetiap fikirku.

Tanpa berpikir panjang setiap ada ulangan aku tak pernah menyontek. Setiap ada ujian aku tak pernah mau menconteki. Karena Allah melarangku untuk tolong menolong dalam keburukan. Itulah yang menjadi prinsipku.

Mudah kah? Tentu tidak, awalnya aku sangat kesulitan. Harus belajar lebih keras lagi karena sebuah keputusan yang berat itu. Sampai-sampai banyak teman yang menjauhiku karena keputusanku untuk tidak mencontek dan memberi contekkan. Hanya satu sahabatku yang masih mendukung ku dan selalu ada untukku, dia bernama Alvi.

Semester 1 di kelas ini berakhir peringkatku turun menjadi 2. Awalnya sedih dan kecewa namun ada suatu kebanggaan dan ketentraman tersendiri. Meskipun kini mereka menertawakan kemunduranku, bahkan ada beberapa yang bilang, “Makanya jangan sok jujur." Ada juga yang berkata “Pelit sih?” Namun aku tetap kukuh dengan prinsipku.

Mungkin aku masih kurang belajar. Begitu pikiranku, setiap hari aku selalu bangun jam 02.00 dini hari untuk salat malam. Lalu aku belajar dengan sungguh-sungguh. Siapa sangka Bu Gik guru geografiku memberiku amanah untuk ikut Olimpiade Geografi, yah meskipun akhirnya kalah.

Ketika kelas 2 banyak teman-teman yang menjauhiku. Justru ketika kelas 2 itu aku lebih dekat dengan anak-anak Rohis yang selalu memberiku semangat. Aku selalu bermain dengan mereka. Waktu istirahat pertama selalu aku pakai untuk salat dhuha. Ketika aku ada masalah aku juga jarang bercerita kepada teman sekelasku aku lebih sering menyendiri dalam musala dekat kelasku.

Sempat dan sering menangis dengan ejekkan teman-teman namun Allah selalu memberi kekuatan. Akhirnya perlahan-lahan mereka mulai mengerti akan prinsipku. Setelah semster 2 usai tibalah pengumuman rangking alhamdulillah aku bisa meraih peringkat 1 dikelas. Sungguh ini adalah kebahagiaan yang luar biasa karena aku mendapatkannya dengan kerja keras. Aku berharap aku menuntut ilmu ini karena Allah hingga bisa menjadi amal jariyah bagi orang tuaku.

Perjalananku tidak berhenti di sini saja ketika kelas 3 keluargaku mengalami masalah ekonomi. Bahkan sering aku berangkat sekolah tanpa membawa uang saku sedikit pun. Namun, ibu tak pernah menunggak SPP-ku. Setiap punya uang beliau selalu membayarkannya lebih dulu. Bagiku tak membawa uang saku tak masalah yang penting aku bisa bayar SPP.

Kelas 3 aku sudah benar-benar belajar dengan semaksimal mungkin. Meskipun kadang kala aku sering malas-malasan. Aku sering up-date perihal universitas, singkat cerita pendaftaran SNMPTN dibuka. Aku sempat bermimpi ada seorang wanita yang memberikanku jas almamater berwarna kuning. Nah, keesokkannya aku menceritakan ayah dengan arti mimpiku. Awalnya ayah menolak keinginank untuku melanjutkan kuliah, ya semua karena faktor biaya. Tapi aku ingin dan sangat ingin melanjutkan kuliah.

Banyak beasiswa di universitas negeri yang paling aku harapkan adalah beasiswa bidik misi. Aku berharap aku benar-benar mendapatkan beasiswa itu karena jika tidak kemungkinan aku tidak bisa melanjutkan kuliah. Ah tidak aku harus bisa kuliah aku pasti bisa. Itu keyakinan yang selalu aku tanamkan.

Semua jalur seperti SNMPTN, SPAN-PTKIN, PKMDK aku coba dengan kesibukan melengkapi berkas. Lalu membuang uang untuk melengkapi dokumen. Ditambah belajar untuk UNBK dan SBMPTN. Saat itu bulan Desember ayah memberikan aku uang Rp200.000 untuk membeli buku SBMPTN. Itulah ayahku sosok humoris yang selalu sayang dengan anak putri semata wayangnya ini.

Ayah dan Ibu benar-benar mendukungku, mungkin mereka iba melihat semangatku untuk bisa meraih gelar sarjana suatu hari nanti.
Back to story, ayah menyarankan untuk mengambil kuliah di UNNES beliau berpesan ambilah UNNES prodinya sesuaikan dengan keinginan ibumu. Tapi ibu menyarankan UNDIP, akhirnya aku patuh pada ayah. Semua ikhtiar telah aku lakukan, mulai dari bangun malam, tahajud, belajar dini hari dan semua ikhtiar aku maksimalkan.

UNBK telah usai, kini saatnya liburan tiba. Aku memutuskan untuk bekerja mengisi waktu luang. Aku bekerja di sebuah rumah makan yang dekat dengan rumahku. Dis ana aku belajar banyak hal mulai dari memasak mencuci sampai jatuh karena terpeleset.

Awal kerja capek juga. Itulah kenapa aku ingin sekolah lagi, tibalah saat pengumuman SNMPTN. Saat itu posisiku masih bekerja. Tepat pukul 14.00 aku tiba di warung makan, usai menjenguk salah satu karyawan yang kecelakaan. Pukul 14.15 temanku Alvi datang membawa laptopku ke rumah makan. Kebetulan suasannya sepi pembeli, aku membuka pengumuman lebih dulu. Ibu juga kesana untuk melihat hasil pengumuman, kecintaannya padaku membuat aku semakin takut bila aku jauh dari Ayah dan Ibuku.

Tanpa takut atau berpikir panjang. Tiba-tiba aku melihat garis warna hijau dan tulisan "SELAMAT" Masyaallah ibu yang berada di sampingku turut tersenyum bangga. Senyum yang sangat membuat hatiku bahagia. Ibu ini bukan hadiah untukku tapi untukmu. Gumamku dalam hati. Aku masih tersenyum dengan sangat tak percaya.

Perjuanganku selama 3 tahun, Allah telah memberikan rezeki yang tak pernah sedikit pun aku impikan kala aku kecil untuk bisa ke Semarang. Masyaallah, aku benar-benar bahagia.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Hikmah
Tidak ada manusia yang dilahirkan dalam keadaan bodoh, semua manusia dilahirkan dalam keadaan tak berilmu. Pandai itu takdir yang bisa diusahakan, dan bodoh adalah kedzoliman karena tidak memaksimalkan potensi dari Tuhan.

Jangan pernah menyerah apapun keadaan kita, di mana ada usaha di situ kau akan temukan jalan.

Saat Tuhan memberimu air mata saat itu Tuhan tengah mengujimu agar engkau menjadi orang yang berguna di masa depan.
Jika kau punya mimpi besar maka kau harus siap membayar dengan biaya besar untuk mendapatkannya. Baik dengan usaha atau doa, yang pasti orang sukses adalah mereka yang tahan akan ujian apapun.

Jangan pernah berhenti berbuat baik jika kau percaya itu kebaikan. Jika manusia tidak ridho namun Allah ridho insyallah kebaikan adalah tujuan kita. Jangan pernah berhenti untuk bermimpi meskipun banyak manusia yang tak percaya kau akan mewujudkan mimpimu. Karena bukan manusia yang menciptakan kapasitasmu mintalah pada Dia yang menciptakanmu.

Salam sukses calon pemimpin. Camaba 2018, kutunggu kalian.




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading