Sukses

Lifestyle

Menghidupi Keluarga Tanpa Pekerjaan Tetap, Selalu Ada Cara Menjemput Rezeki

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Tahun ini saya genap berusia 33 tahun. Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, di umur yang sudah semakin dewasa ini saya tidak memiliki pekerjaan tetap. Padahal, sejak duduk di bangku SMA dan kuliah, saya selalu mencita-citakan bekerja sebagai guru atau dosen. Karena itulah, selepas SMA saya mendaftar di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.

Saya ingin menjadi guru dan sepulang mengajar saya masih bisa memberikan les untuk anak-anak. Saya pikir lumayan untuk pekerjaan sampingan. Waktu itu tidak ada gambaran sama sekali berapa besar gaji seorang guru, terutama guru baru (fresh graduate). Setelah wisuda saya bingung, tidak tahu harus bekerja apa. Saat itu tidak terbersit dalam pikiran saya untuk pulang ke kampung halaman, karena kondisi perekonomian orangtua. Yang saya tahu, jika saya pulang maka saya tidak bisa segera bekerja.

Saya harus mengirimkan surat lamaran ke berbagai sekolah, baik negeri maupun swasta. Setelah saya diterima pun gaji yang saya tahu sebagai guru honorer di kampung hanya cukup untuk membayar bensin. Yang saya pikirkan saat itu, dengan gaji yang tidak seberapa bagaimana saya bisa mencukupi kebutuhan orangtua yang semakin renta. Pun tidak ada kepastian kapan saya bisa diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Semuanya serba tidak pasti, dan saya tidak suka itu.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Akhirnya saya memutuskan untuk tetap tinggal di Semarang. Di Semarang gaji guru les jauh lebih besar dari guru honorer di kampung. Saat itu saya memberanikan diri untuk mengangsur sepeda motor demi kemudahan transportasi saya bekerja. Uang DP dibantu oleh bapak. Angsuran per bulan saya yang membayar hasil dari menjadi guru les di berbagai lembaga bimbingan belajar dan les privat. Jika kurang, saya dibantu oleh pacar saya yang tidak pernah saya sangka berhati baik.

Besarnya gaji bulanan yang saya terima tidak pasti, namun masih lebih besar daripada jika saya bertahan di kampung. Untuk makan saya harus irit. Hampir setiap hari makan nasi kucing bahkan puasa. Saya berusaha mencari lowongan guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah di Semarang. Hasilnya nihil. Mungkin, karena saya tidak punya koneksi di sekolah-sekolah, sehingga sulit memasukkan lowongan ke sana. Jadi, saya hanya bisa berusaha sabar menjadi guru les.

Berubah Haluan
Kebetulan saat itu saya memiliki pacar, yang kemudian hari menjadi suami saya, yang bekerja menjadi wartawan sebuah media internal di sebuah BUMN. Dia punya keahlian menulis. Tulisannya sering dimuat di surat kabar kala itu. Suatu hari Allah mempertemukan pacar saya itu dengan seorang pebisnis internet dan singkat kata dia bekerja dengan pebisnis itu.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Saat ia bekerja di kantor si pebisnis internet itu, laptop yang ia miliki dititipkan kepada saya beserta modem internetnya. Saya minta izin untuk menggunakannya di waktu senggang dan mencoba browsing di Kaskus. Saat itu belum ada media sosial, forum yang terkenal hanya Kaskus. Iseng saja saya mencari lowongan pekerjaan freelance di kaskus. Kemudian saya berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai penulis artikel untuk blog dan situs web.

Bayaran per artikel saat itu, tahun 2008, lumayan tinggi dibanding sekarang. Saya bisa kirim uang untuk orangtua dan bisa menabung. Lambat laun saya semakin menyelami pekerjaan sebagai freelancer, tidak hanya sebagai penulis artikel, tetapi juga sebagai penerjemah online. Saya mendapatkan pekerjaan sebagai penerjemah lepas di vendor-vendor subtitler film berbahasa Inggris. Penghasilannya lumayan. Meski tidak besar, tetapi saya syukuri. Saya bisa melunasi angsuran sepeda motor saya.

Saya sebenarnya tidak lupa dengan cita-cita saya menjadi guru. Setiap kali ada pembukaan lowongan CPNS, saya mendaftar. Bahkan saat pembukaan lowongan CPNS guru saya berburu formasi CPNS untuk guru bahasa Inggris. Saya perjuangkan hingga pergi ke Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Brebes, Yogyakarta, demi mengejar cita-cita menjadi guru PNS. Tetapi Allah berkehendak lain. Saya tidak diterima.

Saya pun memantapkan hati untuk menjadi penulis dan penerjemah lepas. Segala pekerjaan yang bisa saya temukan di internet, saya jalani, entah itu menulis artikel atau menerjemahkan atau apa saja. Pernah saya tertawa sendiri. Saya ini tidak ubahnya seperti pekerja serabutan. Saya percaya ini jalan hidup yang Allah pilihkan untuk saya. Sampai akhirnya saya menikah, memiliki anak dan kembali ke kampung.

Terkadang dalam hati saya bersyukur saya diberi pekerjaan ini oleh Allah agar saya tidak perlu bekerja ke luar rumah. Saya masih bisa mengurus anak dan tidak melewatkan setiap tahap perkembangannya. Saya bisa menemaninya bermain dan memantaunya setiap saat. Kadangkala, saat deadline mendesak, saya terpaksa menitipkan anak saya ke tetangga atau saudara. Tetapi itu tidak sering. Suami saya juga bekerja sebagai pekerja lepas. Akhir-akhir ini dia lebih fokus menjadi SEO specialist. Saat salah satu dari kami sibuk, kami bisa bergantian menjaga anak. Selain itu, saya juga sangat mensyukuri dari pekerjaan ini saya dan suami bisa membeli rumah dan mobil, meski dengan cara mengangsur.

Saat Sepi Job
Saya meyakini setiap pilihan pasti mengandung sebuah konsekuensi. Setiap kemudahan yang diberikan oleh Allah, pasti disertakan pula sepaket kesulitannya. Begitu pula sebaliknya. Pernah suatu waktu saya harus rehat tidak bekerja. Saya mengandung anak kedua dan melahirkan prematur. Anak kedua kami meninggal. Saya terpuruk cukup lama dan tidak bersemangat untuk bekerja. Kondisi kesehatan saya juga sering terganggu. Praktis, saya tidak bekerja sama sekali dan berusaha mengalihkan kesedihan saya dengan hanya fokus merawat anak pertama saya sebaik-baiknya.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Pahitnya lagi, pada saat yang sama suami saya pun sedang sepi job. Beberapa kontrak kerja diputus. Ibu saya menyusul, sering sakit. Akibatnya, kondisi keuangan kami goncang. Terpaksa kami berhutang sana-sini untuk membayar cicilan rumah juga mobil. Pernah suatu kali saya ingin jajan bakso, tetapi terpaksa saya tahan demi menghemat uang. Jika ada kelebihan uang belanja saya simpan untuk uang jajan anak saya saja.

Di saat seperti itu, saya jadi merenung. Akankah saya jalani pekerjaan serabutan seperti ini seumur hidup saya? Bagaimana jika semakin hari pekerjaan yang datang semakin sedikit? Bagaimana jika honor per artikel semakin murah sementara usia saya semakin tua dan biaya hidup semakin tinggi? Semuanya serba tidak pasti.

Saat merenung malam itu saya sedang duduk di luar, di bangku panjang di bawah pohon sebelah rumah. Saya menoleh ke arah rumah tetangga saya. Beliau bekerja sebagai PNS golongan IV. Kedua putranya sudah menikah dan memiliki pekerjaan dengan gaji yang lumayan untuk ukuran kota kecil. Namun, malangnya rumah yang mereka tempati harus dijual untuk membayar utang, padahal setahu saya rumah itu pun dibeli melalui KPR dan belum lunas, sama seperti rumah saya.

Saya memandangi rumah itu dan kemudian tersadar. Tidak perlu mengkhawatirkan masa depan. Orang-orang beriman tidak perlu takut akan masa depan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Tugas kita hanyalah berikhtiar, berdoa, mendekatkan diri kepada Allah. Rezeki kita pasti sudah dicukupkan oleh yang Maha Kuasa.

Seorang PNS yang memiliki gaji bulanan sekali pun bisa bangkrut dan banyak utang. Kemudian saya masuk ke rumah, membuka email, dan ada satu yang masuk, isinya penawaran untuk menjadi penerjemah film (subtitler) di sebuah vendor dengan tarif penerjemahan per menit yang menurut saya fantastis. Allahuakbar! Tugas kita memang hanya berdoa dan berusaha, ya! Pilihan hidup saya sebagai freelancer adalah juga jalan yang dipilihkan oleh Allah dan Dia tahu yang terbaik untuk saya.   





(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading