Sukses

Lifestyle

Harta yang Melimpah Nyatanya Tak Bisa Mengobati Kesepian

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Cinta anak manusia memang tidak bisa diatur dengan keinginan orang lain, begitu juga dengan perasaan cintaku ketika harus memilih orang yang sangat kusayangi, yaitu Papa dan Momy-ku. Sebagai anak tunggal aku banyak dihujani dengan kasih sayang dan fasilitas yang belum tentu dimiliki oleh anak-anak lain seusiaku. Memang benar bahwa ada anak yang terlahir dengan keberuntungan dan takdirnya masing-masing, begitu pun denganku yang dilahirkan dari orangtua yang mampu memberikan apa yang kuinginkan, namun ternyata takdirku menuliskan bahwa aku tidak bisa memiliki kedua orangtuaku selamanya.

Berawal ketika Papa dan Momy memutuskan untuk bercerai. Karena waktu itu usiaku masih kecil dan belum boleh memilih, akhirnya keputusan pengadilan memberikan hak asuh seluas-luasnya kepada Papa dan Momy. Tetapi karena Momy memutuskan keluar dari rumah maka demi kepentinganku akhirnya Papa memutuskan aku harus tinggal di rumahnya. Papa memiliki power seperti harta dan kekuasaan untuk menguasaiku sementara  Momy tidak memiliki finansial yang bagus maka ia harus mengalah aku tinggal di rumah papa.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Sejak Momy meninggalkan rumah, Papa menutup semua akses komunikasi dan pertemuanku dengan Momy. Mungkin Papa dendam entah apa aku belum memahami waktu itu, yang kutahu adalah rasa sepi dan hidupku berasa sunyi. Tidak ada lagi dongeng sebelum tidur tentang dinosourus, nemo ikan lucu yang pintar, kakek tua yang baik hati dan cerita ibu peri.

Kegiatanku selalu di dalam rumah, aku tidak boleh bermain di luar rumah, semua gerak gerikku diawasi Papa. Kalau aku ke sekolah selalu ada bibi pembantu yang mengawasi dan tiba di rumah ada Mbak Tifah dan Mbak Nur yang memonitor kegiatanku. Walaupun aku menempati rumah yang besar dan fasilitas yang baik tetapi aku merasakan bagai tinggal di taman kuburan. Papa memang memenuhi semua kebutuhanku tetapi kalau keinginanku  bertemu dengan  Momy maka papa akan semakin mengawasiku dan menolak permintaanku.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Hari demi hari aku habis kan waktuku di rumah Papa yang penuh dengan fasilitas. Hingga tidak terasa aku masuk SMP dan temanku mulai banyak, ketika teman-temanku bertanya tentang Momy aku langsung terdiam karena tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada teman-temanku. Aku belum paham apa itu bercerai, yang kutahu Momy pergi meninggalkan rumah karena bertengkar dengan  Papa. Setiap kali kutanya Papa tentang Momy pasti jawab Papa,”Jangan mikirin Momy, sekarang kamu anak Papa."

Tahun ketiga menginjak bangku SMP, karena penasaran aku mencari tahu dari penjaga rumahku, yaitu Pak Gino, awalnya ia tidak mau cerita tetapi aku memohon dan mendesak akhirnya pak Gino bercerita bahwa Momy tinggal tidak jauh dari rumahku. Momy sering melihatku dari jauh tetapi tidak berani mendekat karena takut ketahuan sama Papa.

Sejak mendengar cerita Pak Gino aku tidak bisa tidur, rasa rinduku semakin kuat hingga akhirnya aku memberanikan diri mencari tahu rumah Momy. Dengan bantuan Pak Gino aku diantarkan ke rumah Momy. Ternyata rumah Momy tidak sebesar rumah Papa, Momy terkejut dengan kedatanganku dan menyambutku dengan bahagia. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku bisa merasakan pelukan hangat Momy, dan banyak cerita dari Momy yang kudengar bahwa sebenarnya Momy memilih bercerai karena Papa memukul Momy dan Papa ingin menikah lagi. Momy memilih meninggalkan rumah dan bekerja sebagai karyawan toko di mall, dan tinggal dirumah kontrakan tetapi Momy bahagia karena tidak tertekan lagi dengan perilaku papa.

Sejak kejadian itu aku tidak bisa tidur nyenyak. Yang ada di pikiranku adalah wajah, senyum, dan pelukan Momy hingga akhirnya aku tidak tahan lagi menahan kegelisahanku dan aku memberanikan diri berbicara pada papaku. "Pa, aku mau pindah ke rumah Momy dan aku mau tinggal ke rumah Momy!" Papaku terkejut dengan keputusanku dan berusaha membujukku dengan iming-iming akan dibelikan apa saja yang aku mau asal tidak memilih tinggal di rumah Momy, tetapi semakin Papa menentangku keinginanku semakin besar untuk tinggal bersama Momy.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Keesokan harinya Tante Eno datang dan berbicara dari hati ke hati kepadaku, ternyata diam-diam Papa minta bantuan Tante Eno sebagai adik Papa untuk membujukku memilih tinggal di rumah Papa. Tetapi aku sudah membulatkan tekadku tetap memilih tinggal di rumah Momy. Papa akhirnya mengalah dan memberitahuku bahwa sebenarnya di usiaku yang ke  17 tahun aku boleh memilih mau tinggal di rumah Papa atau Momy sesuai dengan kesepakatan di pengadilan. Namun aku tidak menghiraukan perjanjian tersebut. Papa dan tante Eno malam itu mengantar aku ke rumah Momy, tiba di rumah Momy, wanita yang kurindukan ini langsung memelukku dan menangis. Aku langsung duduk dekat Momy di ruang tamu, Papa dan Tante Eno langsung pamit pulang, sebelum pulang Papaku memelukku dan tetap membujukku, ”Katakan Dik kalau kamu berubah pikiran Papa akan menjemputmu.” Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, ”Tidak Pa, aku mau tinggal di rumah Momy."

Untuk pertama kalinya di usiaku yang sangat muda yaitu usia 14 tahun aku dihadapkan dengan pilihan yang sulit yaitu memilih tinggal di rumah Papa atau Momy, tetapi ukuran bahagia itu bukan dari harta yang banyak, kenyamanan dan kasih sayang Momy menjadi pilihanku.

Awalnya tinggal di rumah Momy bukanlah hal gampang. Ada rasa kecewa, yang tadinya punya rumah besar, punya kamar sendiri, dilengkapi dengan pendingin ruangan kini berganti tidur dempet-dempetan dengan Momy. Tapi lama-kelamaan aku merasakan hal yang berbeda, walaupun rumah kontrakan tapi suasana rumah terasa nyaman. Aku dapat merasakan harum tubuh Momy, pelukannya, ciuman sayangnya kepadaku dan mendengar suara sendok panci dan kuali ketika ia menyiapkan bekal masakannya untukku. Aku dapat mencium harum masakan Momy yang tidak pernah kudapatkan di rumah Papa. Ditambah dengan kehadiran Khafi, anak tetangga rumah Momy menambah semarak suasana rumah, selalu ada tawa dan bahagia.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Di rumah inilah aku merasakan apa yang namanya suasana keluarga. Sedangkan kalau di rumah Papa walaupun rumah besar dan makanan banyak, kamar tidur yang besar serta dilengkapi dengan AC tapi aku merasakan kesendirian dan aku tidak menyesal memilih tinggal bersama Momy. Malah yang kusesalkan kenapa pilihan ini tidak kuambil sejak awal ketika Momy bercerai.

Tetapi yang terpenting adalah aku bisa merasakan suasana rumah dan tetap bersama Momy karena di rumah inilah aku bisa melihat proses Momy menata hidupnya dan memperjuangkan hidupnya untukku dengan bekerja keras. Sekarang aku kuliah di kampus ternama di Solo dan semua biaya kuliahku ditanggung oleh Momy, karena papa lebih mementingkan ego dan bahagianya bersama orang lain dan amarahnya karena aku memilih tinggal bersama Momy.

Bahagia itu sederhana. Kekayaan itu datang dengan segala risiko. Aku bangga dengan pilihanku karena memang pilihanku tepat untuk tinggal di rumah Momy, this is my life and my choice, I never regret choosing to stay with my Mom.

Solo, 9 april 2018

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading