Sukses

Lifestyle

Tetap Bekerja Setelah Menikah dan Punya Anak, Setiap Pilihan Penuh Dilema

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Perkenalkan sebelumnya, saya seorang istri, ibu dari dua orang anak dan bekerja sebagai Manager IT Core Banking di salah satu Bank BUMN terbesar di Indonesia. Sebelum menikah dan mempunyai anak, kehidupan saya bisa dibilang “ringan”, yang saya hadapi hanya keseharian bergulat dengan program-program core banking dan kehidupan berumah tangga yang awalnya hanya ada saya dan suami.

Suami saya juga tidak banyak menuntut saya macam-macam seperti harus memasak setiap hari, harus ini dan itu, beliau cukup demokratis dan santai. Kami berdua bekerja di bidang yang sama yaitu IT, jadi sudah sama-sama tahu load kerja di bidang ini seperti apa dan sudah memaklumi jika masing-masing terkadang lembur bahkan pulang dini hari.

Copyright pexels.com

Kehidupan semakin berwarna semenjak saya dinyatakan positif hamil anak pertama, namun sangat disayangkan menginjak bulan kedua kehamilan kami harus merelakan anak kami dipanggil Yang Maha Kuasa. Rasa penyesalan dan kesedihan terus berlanjut, namun seiring bertambahnya aktivitas S2 dan pekerjaan saya, kesedihan dapat teratasi. Setelahnya, hampir setahun lamanya kami menanti diberikan rezeki kembali, dan akhirnya kami diberi kepercayaan kembali untuk mendapat anak.

Pada saat hamil yang kedua ini, saya sangat berhati-hati dalam beraktivitas karena trauma akan kejadian pertama. Di tengah-tengah kehamilan, suami saya dipindahtugaskan ke Bangkok. Selama hampir 3 bulan pertama kami sanggup melaluinya, namun terkait dengan mood ketika hamil yang berubah membuat saya sering cemas dan gundah ketika berjauhan dengan suami. Pilihan menghadang di depan, apakah saya harus resign, meninggalkan semua privilege saya di Jakarta dan mengikuti suami ke Bangkok atau tetap di Jakarta dengan dihantui oleh kecemasan yang mengganggu setiap hari?

Copyright pexels.com

Surat resign sempat saya ajukan kepada pimpinan saya, setelah berdiskusi panjang akhirnya terdapat titik tengah “win-win solution”. Cuti tanpa tanggungan adalah jawaban atas segala kegundahan saya. Selama 3 bulan lamanya saya diizinkan cuti tanpa tanggungan oleh pihak kantor dan saya dengan leluasa ikut ke Bangkok menemani suami saya hingga akhir masa dinas di Bangkok.  

Tidak sampai di situ, kalau kata orang hidup itu penuh pilihan selayaknya jalan raya juga pasti akan bertemu perempatan yang kamu harus tentukan apakah lurus atau belok atau putar arah? Ya kan? Setelah kelahiran anak pertama, enam bulan kemudian kami diberikan rezeki kembali. Saya hamil anak kedua, alhamdulillah. Rezeki sudah ada yang mengatur, pun dengan jalan hidup manusia.

Copyright pexels.com

Kembali di tengah kehamilan, suami saya dipindahtugaskan ke Bangkok. Kegalauan muncul kembali, kala ini akan ada anak bayi dan kakak (anak pertama) yang usianya belum genap dua tahun di tengah-tengah kami. Pilihan yang sulit sekali. Pilihan pertama, saya resign dan mengikuti suami pindah beserta kedua anak kami. Pilihan kedua, saya resign dan mengikuti suami pindah namun hanya membawa satu anak, yakni anak kedua. Pilihan ketiga, saya tidak resign dan tetap di Jakarta bersama kedua anak kami namun hanya suami yang pindah ke Bangkok.

Copyright pexels.com

Pilihan-pilihan tersebut bermunculan karena satu dan lain hal, salah satunya keberatan ibu saya jika saya resign dan membawa anak pertama ke Bangkok. Beliau merasa saya hanya sesaat memikirkannya dan menjadi ibu rumah tangga sepertinya akan menjadi hal yang membosankan bagi saya. Apalagi, sejak bayi, anak pertama dekat sekali dengan ibu. Jadi sepertinya beliau merasa keberatan akan keputusan yang saya ambil jika saya resign dan membawa serta anak-anak saya ke Bangkok.

Copyright pexels.com

Di sisi lain, saya tidak bisa membiarkan anak saya jauh dari bapaknya, karena mereka pasti membutuhkan sosok ayah. Dilema? Iya. Di satu sisi, suami mengajak ikut pindah, hati nurani saya terbelah dua antara suami atau ibu. Memang setelah menikah sepatutnya saya berbakti kepada suami. Banyak sekali pertimbangan yang harus dipikirkan, namun semua jalan pasti ada risikonya, tidak ada jalan yang selalu mulus dan lancar.

Jika sudah tahu gambaran ke depan setidaknya akan seperti apa, dan kita sanggup dan berkomitmen bersama untuk melaluinya, maka jalan tersebut layak ditempuh. Pun dengan saya, kami sudah berbulat tekad apapun yang akan terjadi akan kami lalui dan hadapi bersama. Semoga pilihan ini yang terbaik bagi kami sekeluarga. Aamiin.







(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading