Sukses

Lifestyle

Suka Duka Jadi Relawan Hingga Kini Jadi Pekerja Sosial

Setiap wanita punya kisah hebatnya masing-masing. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari cerita seorang wanita. Seperti tulisan dari sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Rayakan Hari Perempuan Sedunia ini.

***

Tahun 2005 saya aktif sebagai volunteer di sebuah lembaga pemerintah di Bandung menjadi reader bagi anak-anak tunanetra. Saat itu saya masih kuliah persisnya sedang skripsi (karya ilmiah akhir). Anak-anak tunanetra yang saya bantu untuk dibacakan adalah anak-anak yang masih sekolah formal maupun non-formal, yang dari usia SD, SMP, SMA sampai kuliah sedangkan yang non-formal adalah anak yang sekolah khusus yang mengambil ketrampilan seperti kupora, kursus pijat olahraga, kelas shiatshu, kelas massage.

Biasanya yang saya lakukan adalah membacakan buku yang mereka minta dengan cara dikte dan mereka salin ke huruf braille, atau di ekam suara saya atau sekadar minta dibacakan saja. Atau sesekali mereka meminta saya menemani pada saat ujian di sekolah/kampus karena pada saat ujian biasanya mereka sangat membutuhkan reader untuk dibacakan soal-soal ujian. Kegiatan saya sebagai reader berjalan kurang lebih 3 tahun karena tujuannya sambil menyelesaikan skripsi saya.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Di tahun 2008 persisnya awal agustus saya bekerja di Jakarta di sebuah rumah perlindungan milik pemerintah sebagai pekerja sosial yang menangani korban trafficking, pekerja migrant bermasalah dan korban KDRT. Usia rata-rata yang saya tangani adalah usia anak dan dewasa, perempuan dan laki-laki dari berbagai provinsi, karena sebelum dipulangkan ke daerah asalnya mereka ditampung di persinggahan sementara di rumah perlindungan untuk proses pemulihan psikososialnya dulu, yang meliputi identifikasi masalahnya dulu. Karena hampir sebagian besar klien yang dirujuk rata-rata mengalami trauma, akibat di tempat kerjannya atau kalau kasus KDRT dengan pasangannya atau gangguan psikologis lainnya. Rumah perlindungan tempat saya kerja rata-rata rujukan dari beberapa lembaga dari KBRI Malaysia, Saudi Arabia, IOM, P2TP2A DKI, Yordania bahkan ada yang sekadar menitipkan kliennya warga asing karena korban pengungsian.

Sebagai pekerja social trafficking, menghadapi anak-anak yang menjadi korban trafficking, bermacam-macam kasus yang pernah mereka hadapi dari mulai penyiksaan secara fisik maupun psikis, gaji yang tidak dibayar, diperlakukan kasar, mendapatkan intimidasi dan kekerasan verbal/non verbal lainnya. Klien yang pernah saya tangani bermacam-macam, dari mulai klien KDRT, klien trafficking, pekerja migran, klien gangguan jiwa, psikotik, kaum buchi.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Tidak mudah bagi saya saat itu menangani anak-anak korban trafficking, dari mulai kami harus menyakinkan mereka bahwa harus tinggal sementara waktu di rumah perlindungan (shelter) beberapa hari sampai benar-benar bisa dipulangkan ke daerah asal, harus mengikuti aturan shelter yaitu mengamankan barang-barang berharganya dari mulai uang sampai handphone, tidak boleh keluar komplek shelter, dan tidak menerima tamu dari siapapun termasuk orangtua. Tidak jarang saya berkonflik dengan para klien karena aturan yang memberatkan mereka apalagi usia mereka masih belasan, pernah suatu ketika belasan klien asal Indramayu karena harus mendapatkan pelayanan medis di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta, di luar dugaan mereka kabur. Padahal semua barang berharga masih di shelter, dan saya sering mendapat teror dari beberapa anak-anak tersebut karena HP ditahan lah dan lain sebagainya.

Belum lagi menangani klien yang mengalami KDRT, siang malam saya harus berusaha memberikan waktu untuk mendengarkan cerita mereka dengan segala permasalahan mereka. Saya memang tinggal di dalam di shelter bersama-sama klien dan petugas lainnya. Otomatis bisa dikatakan 24 jam saya menangani mereka, tidak hanya konseling yang saya lakukan tetapi juga memberikan pelayanan pemenuhan kebutuhan seperti memberikan pembalut dan obat sesuai anjuran dokter.

Sering saya menyaksikan anak-anak marah, ngamuk atau bahkan tidak suka dengan aturan shelter yang kata mereka, "Mbak Sri jahat," dll.  ernah saya pertama kalinya naik pesawat tahun 2009 mungkin mendampingi klien eks psikotik ke Kendari, Sulawesi Tenggara. Karena ini pertama kalinnya saya naik pesawat saya mengalami ketakutan, belum lagi membawa klien eks psikotik yang bahasanya tidak saya pahami karena menggunakan bahasa daerahnya. Jadi ada cerita pesawat saya yang harusnya ke Kendari landing dulu di bandara Makasar diganti dengan pesawat lainnya. Saat itu saya panik belum sempat mengambil tas klien di bagasi karena kami harus cepat-cepat naik pesawat berikutnya. Otomatis orang-orang pada melihat tingkah laku si klien karena tasnya tidak ada ditambah rasa panik saya yang menyakinan dia bahwa tasnya sudah duluan di bagasi. Saya jelaskan dengan bahasa saya, sedangkan dia bicara dengan bahasa daerahnya dia, setelah saya yakinkan dan dibantu oleh pihak dinas sosial akhirnya klien tersebut paham meskipun agak belum yakin.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Setelah mengantar klien ke Kendari hari itu juga pukul 17.00 saya pulang ke Jakarta satu pesawat dengan seorang bapak yang katanya mau pulang ke Bekasi. Cuma selama perjalanan saya merasakan ada yang aneh dengan orang tersebut. Hingga sampai Jakarta pukul 20.00 kami turun bersama dan dia mencoba mengajak saya pulang bareng dengan bus jurusan Bekasi yang bisa disambung dengan taksi untuk ke kantor saya. Saat itu dia berusaha mengajak saya sampai ngajak naik taksi bareng saja. Padahal saya sudah menolak, di tengah situasi tersebut syukurlah ada petugas DAMRI yang memperhatikan kami karena si bapak itu maksa. Si bapak itu kesel akhirnya dia naik taksi duluan dan terlihat dia akrab dengan supir taksi terus.

Terus bapak petugas Damri bilang kepada saya kalau dia itu orang jahat dan taksi itu adalah temannya dari jaringan taksi gelap. Setelah ada bus Rambutan akhirnya saya dibantu sama abang Damri itu naik bus ke arah Rambutan sesampai di Pasarebo saya dijemput teman saya sekitar pukul 12 malam saya baru sampai tempat kerja saya atau rumah perlindungan yang sekaligus menjadi tempat tinggal saya.

Pernah juga saya diceramahin klien gangguan jiwa ringan korban trafficking dari Arab Saudi jadi setiap harinya pakai baju hitam atau abaya baju khas Arab. Klien asal Subang yang setiap hari masuk kantor dan ngecek kerjaan kami katanya, “Gimana mau ngurusin kepulangan kami ke daerah asal kami kalau Mba Sri dan lainnya kerjanya kayak gini, main game, main Facebook, nanti saya laporkan ke Bu Ati bos/koordinator kalian." Klien ini juga yang pernah diajak ke rumah sakit, tanpa sepengetahuan pekerja sosialnya dia membawa kotoran kucing yang katanya mau sekalian diperiksa hamil apa tidak. Perjalanan peksos saya hanya 3 tahun di rumah perlindungan tersebut saya resign karena kondisinya saya menikah dan pulang ke Bandung.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Setelah itu sekitar tahun 2012 saya kerja lagi di Jakarta masih sama lembaga milik pemerintah di rumah perlindungan sosial wanita. Cuma bedanya kondisinya saat itu saya sendirian yang tinggal di dalam dengan menghadapi anak-anak usia belasan (trafficking) labil, selalu menentang aturan, malas mengikuti kegiatan, suka merokok, ditindik, rambutnya merah kadang tidak sedikit berpenampilan tidak sopan celana pendek, dll. Bukan lantaran mereka berkasus trafficking secara sosial tetapi dari sisi psikologis mereka cenderung lebih kompleks masalahnya seperti adanya kaum buchi yang saya sendiri tidak tahu ini istilah dari mana yang pasti mereka berpasang-pasangan. Secara penampilan buchi itu menyerupai laki-laki rambut pendek cepak, payudaranya ternyata di tutup oleh stagen, bajunya baju laki-laki saja. Dan tidak jarang pula saya sering mendapatkan laporan atau bahkan melihat langsung mereka berantem sampai cakar-cakaran, sampai ancam bunuh-bunuhan segala, sampai ada insiden berdarah-darah juga, mungkin karena mereka kaum minoritas jadi kalo ada pasangannya yang mengkhianati lebih baik jalan satu-satunya dibunuh saja.

Pernah juga tidak suka dengan salah satu pegawai yang diberi kepercayaan untuk mengurusi segala kebutuhan klien. Larena saya mintanya sudah lama ada surat pengajuan dan segala macam saya minta berkali-kali selalu slow response alasanya banyak dan yang bikin kesal adalah ini sudah di luar jam kantor padahal si pegawai itu kondisinya sama kayak saya tinggal di dalam. Saya kesal saya marahi dia karena dia mempersulit saya dan tidak membantu saya untuk memberikan kebutuhan klien.

Lagi-lagi kerja saya sebagai pekerja sosial sekaligus pengasuh anak-anak trafficking hanya bertahan 2 tahun karena saat itu kondisinya saya hamil lalu pulang ke Bandung untuk lebih fokus pada kehamilan saya. Tahun 2015 saya memutuskan untuk bekerja lagi di bidang sosial di lembaga yang menangani korban penyalahgunaan napza di Rumah Cemara Bandung milik BNN. Di Rumah Cemara tersebut saya hanya kerja 1 tahun saja dikarenakan anak saya tidak ada pengasuhnya sehingga peran peksos saya sangat tidak maksimal selain saya belum diperkenankan untuk memegang klien/megang kasus karena klien/residen di Rumah Cemara sudah dipegang langsung oleh konselornya sehingga harus persetujuan konselor. Meskipun saya belum menangani kasus tapi saya cukup banyak belajar dari para konselor pengguna napza seperti apa efek dan akibatnya bagi pengguna seperti apa, jadi mengetahui jenis-jenis narkoba yang sebenarnya seperti apa, mengetahui jalurnya transaksi residen bisa memperoleh narkoba. Bedanya di Rumah Cemara residen sebagian besar laki-laki sedangkan perempuannya hanya beberapa orang saja, masa pemulihan di rumah cemara kurang lebih 6 bulan.   

Ilustrasi./Copyright pixabay.com
 
Masuk di tahun 2016 saya bekerja sebagai pendamping PKH yang ditempatkan di kota Bandung saya memegang 308 kpm (keluarga penerima manfaat) dua kelurahan di satu kecamatan. Kegiatan yang saya lakukan adalah melakukan Family Development Session dalam bentuk pertemuan kelompok, tujuannya mengetahui peningkatan perekonomian secara kelompok, memberikan pemahaman tentang bansos PKH itu untuk siapa, diberikan bagi keluarga yang tidak mampu, jadi apabila ditemukan keluarga yang sudah mampu atau sudah tidak ada kategori PKH diharuskan mundur dengan bijaksana.

Kategori PKH itu sendiri antara lain kategori pendidikan usia SD sampai SMA, kategori kesehatan ibu hamil, balita dan kategori kesejahteraan sosial lansia dan disabilitas berat. Tugas saya saat itu selain melakukan validasi dan verifikasi data bagi warga tidak mampu untuk mendapatkan bansos juga melakukan home visit, observasi dan wawancara secara maksimal untuk mengetahui sejauh mana perkembangan dan perubahan kehidupan perekonomian KPM-KPMnya yang menjadi dampingan saya. Termasuk bantuan sembako atau bantuan pangan non tunai (BPNT) menjadi tugas saya sebagai pendamping PKH.

Sering saya bertemu dengan warga apabila sedang ada tugas ke lapangan bahkan ada yang sampai ke rumah dengan membawa KTP dan KK dengan harapan bisa dapat bantuan dari pemerintah, atau juga dengan kewilayahan yang tiba-tiba warganya dapat bantuan tidak ada konfirmasi atau koordinasi dengan wilayah bawah dengan pertanyaan dapat data darimana sehingga tidak bosan-bosannya saya menjelaskan kepada mereka bisa dikatakan berkali-kali.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Belum lagi apabila bantuan turun kepada warga, masih ada warga yang bansosnya saldo nol atau warga yang belum terima kenyataan harus selesai bantuannya karena tidak ada kategori PKH. Karena data awal saya peroleh dari pusat tidak boleh statis dengan seiringnya waktu harus ada perubahan data jumlah KPM-nya harus berkurang, misal yang tadinya sekolah tidak sekolah lagi, yang tadinya hamil sudah tidak hamil lagi dan yang tadinya ada orangnya terus meninggal. Dan semua itu harus dilakukan pemutakhiran data yang akan di update ulang oleh pemerintah.

Tidak mudah saya melakukan FDS kepada KPM yang menjadi dampingan saya adalah di mana pada saat menjelaskan materi FDS sebagian besar materi yang disampaikan bukan tidak mereka pahami tetapi yang ada dalam benak mereka adalah kapan pencairan, harus bayar SPP anak, tas anak, baju seragam anak dan segala kebutuhan sekolah lainnya. Adapun materi FDS yang disampaikan oleh saya selaku pendamping PKH adalah materi-materi sosial, materi tentang kesehatan, materi pola asuh keluarga. Yang pada dasarnya ada 14 materi yang harus disampaikan dalam kurun waktu setiap 1 tahun.

Saat ini pun saya masih aktif bekerja di PKH, intinya saya sangat senang dan menyukai bekerja di bidang sosial selain jadi banyak orang yang saya temui dari berbagai daerah bahkan sampai beberapa warga asing, tapi juga karena permasalahan sosial itu kompleks dengan menghadapi pribadi-pribadi yang unik yang setiap harinya saya harus mempelajari karakter mereka.






(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading