Sukses

Lifestyle

Janji Terakhirmu Tak Kau Tepati, Tapi Aku Terus Berdoa Untukmu

Kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Ayah Aku Rindu ini sangat menggetarkan hati, tentang sebuah janji yang belum sempat terpenuhi dan rindu yang semakin dalam rasanya di hati.

***

10 tahun sudah, perjalanan waktu ini berlalu. Berputar seperti roda sepeda yang dikayuh sangat kencang oleh pemiliknya. Begitulah aku menjalani kehidupan tanpa hadirnya seorang ayah selama 10 tahun itu pula. Cepat, bahkan sangat kilat. Hanya saja, hari-hari yang terlewati terasa berbeda, tidak lengkap, dan kurang sempurna.

Kerinduan itu menyeruak pikiranku. Di malam-malam yang tak berkabut, kuhitung bintang-bintang di angkasa. Jumlah bintang itulah yang mewakili rasa rinduku padanya. Sementara angin yang berhembus perlahan di depan wajah, semakin membawa hasrat untuk ingin bertemu. Namun, keinginan untuk saling berjumpa satu sama lain hanyalah sebuah impian. Tuhan menakdirkan kami pada ruang waktu yang berbeda. Ayah pada dunianya, dan aku sendiri masih diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk menjadi anak yang berkewajiban untuk terus berdoa untuknya.

Yah, ayahku telah berpulang kepadaNya. Kala itu, aku masih duduk di bangku kelas 4 SD. Bagiku, usia itu masih terlalu belia untuk ditinggal pergi oleh lelaki kesayangannya. Sakit hepatitis B yang diderita ayahku selama 3 bulan, telah membuat dirinya tak mampu lagi untuk bertahan. Aku belum tahu apa itu penyakit hepatitis B. Yang aku pahami, penyakit hepatitis B adalah penyakit yang menyerang bagian perut dan bisa sembuh.

Ibuku tidak pernah bercerita bahwa penyakit itu bisa membuat korbannya meninggal dunia. Aku sangat memaklumi, mungkin ibu tidak mau membuat anak gadisnya yang periang berubah menjadi pemurung karena memikirkan ayahnya yang sedang sakit keras. Yang jelas berbeda, ibuku melarangku untuk minum menggunakan gelas yang telah dipakai oleh ayahku. Bahkan, ibu juga melarangku untuk mencium ayah. Sungguh, larangan terakhir ini sangat membuatku terpukul. Tidakkah kau tahu? Aku adalah anak kesayangan ayah. Pelukan ayah setiap hari adalah bagian dari sebuah semangat baru untukku.

Ayah berpulang saat aku masih kecil./Copyright shutterstock.com

Ayahku adalah tipikal orang yang keras dan berpendirian teguh. Apa yang ia sampaikan adalah aturan yang harus dijalankan oleh setiap anggota keluarga yang ada di rumah. Namun, setiap aturan yang dibuat tidak lain adalah untuk mengajarkan kami—terutama anak-anaknya bersikap disiplin. Sering kali pahaku mendapat cap 5 jari ayah karena nakal. Tetapi setelahnya, ayah akan menjelaskan padaku kenapa ia melakukannya. Tak lupa, selalu ada pelukan hangat dan belaian sayang yang ia hadirkan untuk melembutkan suasana.

Kepergian ayah memantik sedikit memoriku tentang janji-janjinya. Yah, dia pernah berjanji kepadaku. Janji itu selalu saja berputar-putar di kepalaku saat aku merindukannya. Saat itu, ayahku sedang terbaring di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif. Wajar saja, perutnya yang dulu melekat erat pada tulang-tulang rusuknya, kini terlihat membesar seperti ibu hamil. Mata, kuku, dan kulitnya sudah mulai menguning. Rambutnya yang ikal jelas terlihat tak terawat, sebab ia tak sempat pergi ke tukang cukur rambut untuk memangkasnya menjadi agak sedikit rapi. Kulitnya yang dulu terlihat kencang, saat itu nampak sangat layu. Yang tidak berubah hanyalah semangatnya yang terus terpacu untuk segera sembuh.

Saat itu, aku diajak oleh omku untuk menengok ayah. Selama ini, aku tidak pernah mau diajak menjenguk ayah di rumah sakit. Sebab, mata dan hatiku tak kuasa menahan tetesan air mata yang selalu memberontak untuk terjatuh kala melihat tubuh ayahku yang semakin lunglai. Ia terbaring lemah tak berdaya, hanya senyuman memaksa yang terkadang aku lihat. Namun kali ini, aku mencoba untuk menguatkan diriku sendiri untuk melihat kondisinya. Benar saja, sesampainya di kamar tempat ayahku dirawat, air mataku mengalir deras. Aku tidak tahan melihat kesedihan dan rasa sakit yang dirasakannya. Kala itu aku memang anak-anak. Namun, sifat melankolisku nampaknya memang sudah terpupuk sejak kecil.

Untuk menghibur kesedihanku, ayah sempat mengutarakan sebuah janji padaku. Janji itu sangat konyol. Akan tetapi, janji yang ia utarakan adalah hal terindah yang menjadi kenangan tersendiri antara aku dengan dirinya.
“Mbak, kesini dulu," ucap ayah padaku.
“Mbak" begitulah panggilan ayah kepadaku. Meskipun aku anak terakhir, tetap saja aku dipanggil mbak.
“Do’akan ayah, ya. Nanti kalau ayah sembuh ayah akan ajak kamu ke salon buat rebonding rambutmu dan ayah akan belikan kamu hape baru. Tapi kamu harus janji, belajar yang rajin supaya masuk ke SMPN 1 Karanganyar (salah satu sekolah menengah pertama favorit di daearahku)." Begitulah janji itu ia sampaikan dengan nada sedikit menahan sakit. Sontak, aku kembali bahagia.

Me-rebonding rambut dan membeli hape baru, adalah dua hal yang sudah aku impikan sejak lama. Waktu itu, me-rebonding rambut sedang ngetren dan mempunyai handphone di kalangan anak SD yang masih ingusan adalah sesuatu hal yang sangat luar biasa.
“Siap, yah. Mbak pasti belajar kok," jawabku sambil mengusap sisa ingus yang masih mengalir bersama air mata.

Aku selalu berdoa untuk ayah./Copyright pixabay.com

Siapa yang tahu jalan hidup setiap orang? Hari ini kita dapat berencana A, namun kehendak yang terjadi esok hari adalah hak Dia sepenuhnya. Benar saja, dua hari setelah aku menjenguk ayah, tepat pada pukul 02.00 dini hari, bulikku mendapatkan kabar bahwa ayahku telah tiada. Seketika, dinginnya angin malam saat itu benar-benar menusuk hingga rongga-rongga tulang yang paling dalam. Kakiku bergetar, dan air mata yang seharusnya mengalir deras justru tertahan—entah kenapa bisa begitu. Seperti ada benda sejenis meteorit yang jatuh menimpa tubuhku yang mungil, berat sekali.

Sungguh, di saat aku menulis cerita ini, dadaku sesak menahan rindu. Sepotong janji terakhir ayah yang telah lama terkubur, nyatanya bisa kembali muncul bersamaan dengan rasa rindu yang dirasa.

Jika Tuhan bisa menjadi perantara, izinkan aku menyapa ayahku lewat kata:
“Ayah, sepotong janji terakhirmu masih lekat dalam pikirku. Aku ingin menagihnya. Sungguh ingin sekali. Mengapa? Supaya engkau dapat kembali.
Rasa rinduku mungkin telah habis karena menunggumu, namun cinta dan sayangku akan tetap bersemi, sama seperti janjimu yang masih terus melekat dalam hati.”




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading