Sukses

Lifestyle

Di Balik Keindahan Raja Ampat, Ada Mereka yang Miskin dan Terlantar

Asmiati Malik, University of Birmingham

Tahun lalu di Times Square yang riuh di New York City, terlihat papan iklan besar yang menampilkan keindahan Kepulauan Raja Ampat. Selain gambar, ada juga kalimat promosi “berliburlah ke tempat yang penuh sihir”. Tetapi di balik daya tarik gambar-gambar tersebut tersembunyi kemelaratan masyarakat yang hidup di sana.

Raja Ampat adalah kumpulan pulau-pulau di semenanjung Kepala Burung di Papua Barat, Indonesia. Tempat ini dikenal sebagai tempat menyelam terbaik di dunia. Lingkungan aneka ragam biota laut yang hampir belum terjamah di mana Anda bisa melihat ikan warna-warni dengan mata telanjang dari atas air.

Daerah ini sebelumnya disebut Irian Jaya, paruh Barat dari pulau Papua yang menjadi diakui bagian dari Indonesia pada 1961. Pada 1969 penduduk Papua Barat memilih menjadi bagian dari Indonesia melalui suatu referendum. Pada 2003 teritori ini dibagi menjadi dua provinsi: Papua dan Papua Barat. Tapi bersama-sama, dua provinsi ini kerap disebut sebagai Irian Jaya.

Di seluruh Papua, terutama di dataran tinggi masih terdapat gerakan pro-kemerdekaan, dan polisi serta militer kerap merazia dan memburu separatis. Tetapi wilayah pantai, termasuk Raja Ampat, secara politis stabil dan aman.

Kepulauan ini menyimpan banyak pesona alam yang membuatnya terlihat seperti surga di dunia. Tetapi 20,5% dari 46.600 penduduk pada 2016 hidup di bawah garis kemiskinan dan memiliki akses rendah terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pasar.

Data memperlihatkan pada 2015, penduduk Raja Ampat per orang rata-rata mengeluarkan Rp849.715 per bulan untuk makanan dan non makanan. Angka ini 28,8% lebih tinggi ketimbang angka rata-rata nasional untuk perdesaan (Rp 659.414) karena biaya hidup di Raja Ampat sangat tinggi.

Lebih terisolasi

Untuk mencapai Raja Ampat, membutuhkan delapan jam dari Jakarta. Dari ibu kota negara, Anda bisa terbang langsung ke Sorong, atau transit di Makassar sebelum ke Sorong, di ujung barat laut Papua.

Lalu Anda naik ferry ke Pulau Waigeo (juga dikenal sebagai Amberi, atau Waigiu), satu dari empat pulau utama dari 1.800 pulau di kabupaten Raja Ampat.

Waisai, ibu kota Raja Ampat, terletak di pulau terbesar di sana, Waigeo. Di Waigeo ada banyak cottage, kebanyakan dimiliki elite lokal. Mayoritas kegiatan pemerintahan dan birokrasi Raja Ampat terjadi di Waisai. Tetapi populasinya tersebar di banyak pulau.

Untuk disertasi doktoral saya, saya tinggal di beberapa pulau, salah satunya Mainyafun. Dibutuhkan waktu sekitar empat jam menggunakan perahu motor dari Waisai, pada April 2016. Di Mainyafun setidaknya terdapat 55 keluarga, dan setiap keluarga beranggotakan sembilan hingga 12 orang.

Sebagaimana di desa lain di Raja Ampat, Mainyafun tidak memiliki fasilitas pengolahan air bersih, tapi sudah memiliki fasilitas penampungan air. Air minum bersih dalam kemasan plastik botol dan gelas dikirim dari Waisai dua kali sebulan atau satu kali dua bulan tergantung cuaca. Penduduk desa juga mengumpulkan air hujan untuk minum. Air dari gunung dialirkan melalui pipa ke pusat desa, tetapi kandungan mineralnya dianggap tinggi sekali.

Tidak ada listrik dan sinyal telepon di sana. Kebanyakan orang di sana menyebut pendidikan sebagai “barang mewah”, dan hanya sekolah sampai lulus sekolah dasar, sarana tingkat pendidikan tertinggi di pulau itu.

Untuk melanjutkan ke sekolah menengah, pelajar di Mainyafun harus pergi ke Waisai. Perjalanannya memakan biaya sekitar Rp1,3 juta satu arah dan sekitar empat jam naik perahu kaca fiber, dan kerap tanpa peralatan keamanan.

Mengais-ngais nafkah

Berada di wilayah dengan banyak ikan, kebanyakan orang di pulau mencari nafkah mencari ikan. Tetapi banyak di antara mereka masih tinggal dalam kemiskinan ekstrem.

Harga ikan yang mereka jual juga sangat murah sehingga meski mereka menangkap 10 kg per hari, mereka masih menombok pengeluaran. Nelayan membutuhkan 5 liter bahan bakar sehari untuk menjalankan perahu kecil mereka. Tetapi bahan bakar langka dan mahal, dan 5 liter bisa seharga Rp125.000.

Nelayan menjual pada pengepul ikan di Mainyafun, yang memroses ikan menjadi ikan asin. Harga jual maksimum di Mainyafun adalah Rp5.000 per kilogram, maka 10 kg menghasilkan Rp50.000. Setelah dikurangi bahan bakar, maka mereka rugi sekitar Rp75.000.

Harga ikan di Waisai sepuluh kali lipat lebih tinggi, dan di Sorong 20 kali lipatnya. Tetapi nelayan di Mainyafun harus menjual ikan mereka sesegera mungkin karena tidak ada akses listrik untuk menyimpan ikan di pendingin.

Mereka membutuhkan perahu yang lebih besar, bahan bakar lebih murah, dan akses ke pasar di Waisai atau Sorong untuk mendapatkan harga lebih baik untuk ikan mereka. Tetapi, perahu dengan motor yang bisa membawa ikan lebih banyak harganya lebih dari Rp100 juta, yang bagi mereka tak mungkin terjangkau.

Kurangnya layanan kesehatan

Terdapat puskesmas kecil di Mainyafun di mana satu dokter dan empat perawat bekerja untuk melayani enam kelurahan yang tersebar di pulau-pulau sekitarnya.

Kondisi kerja sulit dan berbahaya. Kebanyakan pasien mereka adalah pasien yang berangkat subuh dan datang sore. Pekerja kesehatan harus terus menerus siaga.

Isu paling lazim adalah malaria, infeksi kulit, dan penyakit saluran pernapasan. Kematian ibu saat melahirkan juga terjadi pada banyak perempuan. Di klinik hanya tersedia obat dasar dan generik, dan kadang terjadi kelangkaan obat.

Tinggal di pulau terisolasi tanpa sinyal telepon membahayakan baik pekerja kesehatan dan pasien mereka. Pasien yang butuh layanan darurat, seperti malaria kronis, seringkali tak tertolong. Satu-satunya rumah sakit dengan peralatan memadai terletak di Sorong di pulau besar yang berjarak 135 kilometer.

Pekerja kesehatan kerap harus pergi ke pulau tetangga karena panggilan darurat menggunakan perahu kecil. Mereka harus mengabaikan fakta bahwa gelombang laut terkadang mencapai 3 meter. Keadaan laut bisa lebih buruk jika mereka pergi malam hari karena tidak ada alat navigasi modern atau informasi mengenai ramalan cuaca.

Pekerja kesehatan hanya bisa menemui keluarga mereka setidaknya dua kali setahun. Kebanyakan berasal dari Sorong dan Sulawesi Selatan, 1.532 km jauhnya. Gaji pokok pekerja kesehatan sebagai pegawan negeri atau pekerja honorer adalah sekitar Rp1,5 juta sebulan. Jumlahnya sama seluruh Indonesia, tapi dibanding dengan tuntutan kerja di Mainyafun jumlahnya kecil sekali.

Mendapatkan layanan lebih baik

Sementara Indonesia mempromosikan Raja Ampat ke dunia, orang lokal dan pekerja kesehatan merasa diabaikan. Mereka jarang bertemu dengan pejabat pemerintah di kecamatan mereka. Berdasarkan wawancara saya dengan dokter dan perawat di sana, birokrat di Wasaim terutama dari Dinas Kesehatan, kurang mempedulikan kehidupan, keamanan mereka, atau kebutuhan non-psikis mereka.

Pejabat pemerintah lokal yang saya wawancarai memberi tahu saya bahwa mereka berusaha memperbaiki kesejahteraan dengan mengajari orang-orang bagaimana membangun tempat penginapan bagi turis dan bagaimana cara mempromosikannya di internet. Tetapi penduduk lokal dan pekerja kesehatan mengatakan pada saya mereka tak pernah bertemu pejabat yang datang ke kampung mereka.

Kemiskinan di Raja Ampat adalah cerminan dari peran penting negara dalam proses pembangunan. Perbaikan mutu kehidupan bagi orang-orang miskin di daerah itu hanya bisa tercapai melalui perhatian memadai dari elite politik di Raja Ampat, dan pengawasan dari pemerintah pusat. Sebelum hal itu dilaksanakan, maka Indonesia harus berbenah diri menampilkan wajah Raja Ampat sebagai destinasi wisata laut dunia.


Artikel ini diterjemahkan dan dimutakhirkan dari artikel aslinya.

Asmiati Malik, Doctoral researcher, University of Birmingham

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

(vem/kee)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading