Sukses

Lifestyle

Terlahir Cacat Tanpa Kasih Sayang Keluarga, Hanya Tuhan Sumber Kekuatanku

Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba My Body My Pride ini menjadi pengingat bahwa hidup memang kadang tak mudah. Meski begitu, selalu ada cara untuk kembali berjuang dan bertahan hidup.

***


Tuhan menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya. Meski memang kita tak dapat memilih di ruang yang mana, masa yang kapan dan dalam rongga tubuh seperti apa jiwa kan singgah. Pernah terlintas di bayang, bagaimana jika manusia dapat memilih nasibnya sendiri? Pastilah terpilih segala yang terbaik. Namun, apakah esensi manusia tetap melekat dalam diri? Semua yang terlahir akan tampan dan cantik.

Dengan segala kekayaan duniawi di masa yang damai tak terelakkan lagi. Tak ada lagi yang namanya doa dan berserah diri. Usaha dan memperbaiki diri. Yang ada hanyalah interupsi. Tuhan semakin banyak diinterupsi oleh orang-orang yang selalu ingin lebih dan terbaik menurut versinya sendiri-sendiri. Tak ada lagi seni berharap dan bertahan. Yang ada hanya kekalapan dengan keberagaman yang pudar.

Begitu pula aku. Tak pernah aku memilih untuk dilahirkan seperti ini. Hidup sebagai difabel dan harus menjalani operasi sejak bayi. Berkali-kali operasi di usia yang cukup dini. Namun, bukankah Tuhan selalu memberikan yang terbaik?

Aku menderita kelainan saraf tulang belakang yang langka. Pertumbuhanku lambat. Namun, aku masih bisa berjalan walau tak normal. Aku sendiri tak mempersalahkannya. Toh aku masih percaya diri bermain layangan di lapang, bermain kelereng, lalu pulang ngesot di aspal saat kaki tak mampu lagi menopang. Akan tetapi, orang-orang di luar sana? Walau tak semua, cukup banyak yang lebih menilik-nilik kekuranganku daripada derai tawaku yang terurai lebar.

Terlahir sebagai gadis difabel./Copyright pixabay.com

Kakiku yang bentuknya tak sempurna membuat seluruh bagian tubuhku tak lagi berharga di mata. Jangankan orang-orang di luar, keluargaku pun tak menerima. Oma bahkan tak pernah mau menerima salamku saat lebaran. Bagi mereka, aku adalah aib dan aib adalah aku. Persamaan yang sederhana bukan? Terlalu sederhana sampai-sampai aku hampir tak mempedulikannya.

Aku tumbuh menjadi gadis yang keras dengan ambisi yang kuat. Karena aku sadar tak ada tempatku untuk berpegang. Rumah adalah rumah. Hanya tumpukan bata yang dilekat-lekatkan. Tempat numpang tidur ketika pulang sekolah, bukan tempat hatiku singgah dan beristirahat. Tapi alangkah lebih baik jika rumah sekadar rumah. Setidaknya tampak normal. Bukan persamaan lainnya seperti rumah adalah penjara, ruang siksa atau rumah adalah neraka. Aku sangat terbiasa sarapan dengan maki dan pulang sekolah disambut tampar.

Aku bukan orang normal dan terlahir di keluarga yang tak normal pula. Bapakku tak bekerja dan tukang siksa. Mainannya bukan boneka Barbie di pasar, tapi judi dan wanita. Ibuku hanya bisa menangis dan meronta. Dan aku adalah pelampiasan. Pisuh dan pukul itu biasa. Awalnya aku menangis, tetapi lama-lama air mataku tak sudi juga keluar. Aku selalu disalahkan karena selalu diam tak berontak. Padahal usiaku baru tiga. Suatu saat ketika SMP aku turuti ibu dan kakak. Aku berontak karena muak, tetapi malah dicap anak durhaka. Tak ada ruang untuk berceloteh seperti anak balita. Tak ada lagu anak-anak atau sekadar pengantar tidur saja. Yang terdengar hanya makian, uang, utang, siksa dan bunuh diri semata.

Aku lalui masa-masa kecil dan remaja dengan normal dan dinormal-normalkan. Sekolah di sekolah normal hingga bisa merasakan bangku kuliah. Bullying pasti selalu ada. Disiram, ditempeli permen karet, dihina, dijauhi. Kuingat teman-teman sengaja menertawaiku tatkala aku tak bisa menyeberang. Aku yang tak bisa berdiri seimbang pun jatuh, tapi hanya diberi seringai. Olokan tentang kaki itu biasa. Panggilan cacat? Aku sudah kebal. Toh aku memang cacat, kan? Mereka hanya berkata terlaluĀ  jujur, hanya saja masalahnya aku yang tak mujur dan kuterima itu.

Banyak juga yang berusaha menuduhku agar dimarahi guru kelas. Terakhir aku dituduh mencuri HP teman, hingga dipanggil kepala sekolah. Aku yang tak tahu apa-apa melakukan pembelaan. Tapi para guru lebih percaya mereka dan malah semakin menyudutkan. Dan kau tahu, saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar.

Diolok teman itu biasa. Diolok guru? Aku juga sudah kenyang. Aku yang sakit-sakitan hingga jarang masuk sekolah malah dituduh pura-pura. Teman-teman pun demikian. Mereka pencetus bahwa aku pura-pura sakit agar bisa ulangan susulan sehingga punya waktu belajar lebih banyak. Dan guru-guru percaya itu. Ada pula guru yang sering menertawakan karena aku berjalan limbung dengan tubuh bergoyang. Aku hanya bungkam. Tetapi bukan berarti aku ketakutan.

Ah, tapi untuk apa hidup jika hanya untuk merutuk dan mengutuk? Bukankah Tuhan itu adil? Mungkin ada yang menyangkal ada pula yang mengiyakan. Tetapi itu tergantung kesediaan hati kita untuk melihat dari sisi yang mana. Diburu oleh darah sendiri memang sakit, tapi apakah keluarga selalu harus disangkut pautkan dengan darah. Tuhan punya cara sendiri untuk mengantarkan kasih-Nya.

Untuk apa mengutuk?/Copyright pixabay.com

Ketika sekolah selalu saja orang-orang yang Tuhan jadikan temanku. Aku yang tidak dapat berdiri jika tidak ditopang, selalu mendapat genggaman tangan di kiri dan kanan. Kadang dari teman yang lama kenal. Kadang dari orang-orang baru yang selalu menyambut datang dan dari genggaman itulah kami menjadi teman. Memang aku bukan tipe orang yang berteman banyak. Tapi pertolongan itu selalu ada. Aku tak pernah kehilangan tangan untuk digenggam. Selalu Tuhan siapkan orang datang, bahkan mereka berlari dari kejauhan.

Bersyukur, aku mendapat lingkungan yang nyaman saat kuliah. Sebuah kondisi lingkunganĀ  yang tidak peduli dengan hal-hal berbau kiasan. Penampilan, kekayaan tak pernah jadi bahan obrolan. Ketika pertama memasuki kampus, banyak teman-teman yang mengulurkan tangan. Bahkan ketika hari pertama OSPEK, temanku pernah berkata untuk jangan pernah takut karena akan ada satu juta tangan lain yang siap menggenggam tanganku. Dan kata-kata itu kugenggam pula hingga sekarang.

Namun sayang, penyakitku semakin parah hingga aku tak mampu lagi berjalan. Aku harus menjalani 4 kali operasi di usia 19. Namun, kesembuhan tak kunjung datang. Dokter memvonis penyakitku tak bisa disembuhkan, hanya bisa dicegah agar tidak mengalami perburukan dan aku harus selamanya teronggok di kursi roda. Kini aku sedang bersiap untuk menjalani operasi kelima.

Aku harus mengundurkan diri dari dunia perkuliahan dan itu membuatku depresi karena kondisi kesehatan yang terus menurun. Keluar masuk rumah sakit, merasa terisolasi, dan ingin hidup ini diakhiri. Dukungan keluarga hanya angan belaka.

Selama 4 kali operasi tak ada keluarga yang datang. Bapak pun tidak. Hanya ada ibu yang selalu terduduk di sisi ranjang. Tapi Tuhan mengirim paket-paket kasih-Nya dari pintu mana saja. Tuhan maha mengetuk hati seseorang yang ia kehendaki. Dukungan dari kawan tak henti-hentinya, baik dukungan materi maupun moriil. Dan Tuhan maha membolak-balikan hati manusia.

Berusaha kuat./Copyright pixabay.com

Tak satu pun kawan dekat yang datang menengok atau sekadar bertanya kabar. Padahal selama ini telah aku anggap saudara. Tapi Tuhan kirimkan orang-orang terbaiknya yang sama sekali tak kukenal dan mereka pun hanya mengenal kisahku dari obrolan mulut semata. Orang-orang datang silih berganti dengan ketulusan dalam senyum tersungging. Dan mereka lah yang terus menemaniku saat ini, bahkan saat tak kuliah lagi.

Tuhan telah mengirimkan teman yang benar-benar sejati, yang hati mereka selalu terbuka untuk mengasihi bukan mengasihani. Mereka lah yang membuatku urung ketika aku ingin bunuh diri. Mereka adalah alasan bagiku bertahan sampai saat ini. Aku menganggap mereka keluarga di saat keluargaku yang asli sibuk vakansi ke luar negeri. Dan aku di sini harus memutar otak untuk membayar biaya rumah sakit yang tidak sedikit.

Inilah renungan di balik rodaku ini. Jika aku tak beroda, mungkin aku tak akan mengerti rasa sakit, dan sakit hati yang dialami orang lain. Jika aku tak beroda, aku tak akan pernah mengenal namanya kasih. Jika aku tak beroda, aku tak akan pernah terlibat percakapan lebar bersama ibu, karena hanya kami yang tersisa di kamar inap rumah sakit. Jika aku tak beroda aku tak akan pernah merasakan keluarga lewat sahabat sejati. Jika aku tak beroda maka aku tak akan pernah sadar bahwa Tuhan itu Maha Adil.





(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading