Sukses

Lifestyle

Mereka Mencibir Pilihan Saya yang 'Cuma' Kuliah Kedokteran Gigi

"Sebab menjadi dokter gigi adalah pilihan saya,". Kisah nyata ini diceritakan oleh salah satu Sahabat Vemale untuk Lomba Menulis: My Life, My Choice.

*** 

Saat baru lulus SMA, hal yang paling sering ditanyakan oleh orang-orang kepada saya–dan saya yakin remaja lainnya–adalah, “Mau lanjut kuliah ke mana?”. Saya tahu pertanyaan ini tidak akan mungkin bisa dihindari oleh seorang remaja yang baru lulus SMA. Jadi sebanyak apapun pertanyaan bernada sama yang saya terima setiap harinya, saya hanya akan menjawab sambil tersenyum, “Pendidikan dokter gigi.”

Namun terkadang, respon orang-orang yang menanyakan hal tersebut justru berkebalikan dengan saya. Di mana saya yang harusnya adalah pihak yang lelah ditanyai hal sama terus menerus selama dua bulan setelah saya lulus SMA malah bereaksi biasa saja, pihak penanya justru biasanya menjadi pihak yang menunjukkan ketidaksukaan setelah mendengar jawaban saya.

“Kok ambil dokter gigi?”, “Kenapa gak ambil dokter umum saja?”, “Bukannya kamu dapat beasiswa masuk Fakultas Kedokteran?”, “Kamu gak lulus di kedokteran, ya, jadi ambil dokter gigi?” dan masih banyak lagi pertanyaan bernada serupa yang saya terima.

Pilihan Saya Tidak Cukup Baik (dan Tidak Cukup Keren) Bagi Orang Lain

Pada awalnya, saya hanya akan menjelaskan meskipun saya mampu diterima Fakultas Kedokteran dan bahkan mendapat beasiswa di fakultas salah satu Perguruan Tinggi Negeri (karena saya pernah memenangkan olimpiade kedokteran di sana), saya akan tetap memilih menjadi dokter gigi, bukan dokter umum. Karena bagi saya, profesi bukanlah suatu hal yang bisa kita pilih hanya karena kebanyakan orang berpikir bahwa hal itu lebih baik daripada yang lain ataupun karena saya mampu melakukannya. Tapi, karena saya memang ingin mengabdikan diri pada profesi tersebut.

Namun, ketika pertanyaan mengenai mengapa saya lebih memilih menjadi dokter gigi daripada dokter umum datang terus-menerus, bahkan kadang disertai tatapan kecewa seakan saya menyia-nyiakan kesempatan dan kecerdasan yang telah saya miliki, ditambah lagi tidak jarang disertai dengan kalimat bernada tidak sedap di telinga, saya mulai merasa marah serta kecewa.

Saya Dianggap Bodoh Karena Lebih Memilih Fakultas Kedokteran Gigi (FKG)

Saya masih ingat bagaimana teman saya yang memilih fakultas kedokteran umum mengatakan bahwa saya bodoh karena justru memilih FKG yang dia jabarkan sebagai Fakultas Kedokteran Gagal. Saya juga masih ingat bagaimana teman saya yang lainnya lagi, yang sekarang juga kuliah di fakultas kedokteran umum mengatakan “Memang sibuk sekali, ya? Kamukan cuma belajar gigi,” saat saya menolak ajakannya untuk pergi keluar karena beberapa hari lagi saya akan ujian blok.

Saya juga masih ingat bagaimana orang-orang memandang teman saya yang menangis di halte depan kampus karena belum bisa pulang padahal sudah lewat jam sembilan malam karena ada rapat organisasi tingkat universitas, padahal besok paginya kami akan tentamen (ujian praktikum) anatomi I. Tiba-tiba saja ada seorang mahasiswa kedokteran yang lewat sambil mencibir dengan mengatakan teman saya sangat berlebihan, “Padahal mereka nggak belajar sebanyak anak FK (Fakultas Kedokteran Umum).”

Ya, saya akui kami tidak mempelajari keseluruhan anggota tubuh manusia. Tapi, bukan berarti kami tidak banyak belajar dan bisa santai-santai saja karena hal itu. Mungkin memang benar bahwa pengetahuan kami pada ilmu fisiologi dan patologi tidak sedalam mahasiswa kedokteran, tapi saya juga yakin pengetahuan mahasiswa kedokteran mengenai macam-macam bahan biomaterial seperti gips, keramik, aloi, malam, ataupun dental forensic yang menuntut kita untuk dapat melakukan identifikasi korban hanya melalui gigi-geliginya, tidak lebih dalam daripada mahasiswa kedokteran gigi.

Dan jika profesi yang nantinya kami jalani ini memang semudah itu, kenapa kami yang kata kebanyakan orang hanya belajar gigi ini, harus menempuh waktu pendidikan yang sama dengan dokter umum yang belajar keseluruhan anggota tubuh manusia? Itu semua karena pembelajaran kami sudah terfokus untuk mendalami satu hal, namun bukan berarti apa yang kami pelajari itu sedikit atau lebih mudah daripada mahasiswa kedokteran atau mahasiswa jurusan lainnya. Di mana saya yakin tiap jurusan punya kesulitan yang berbeda-beda.

Tidak Ada Satu Profesi (Apapun) Yang Berhak Dianggap Lebih Rendah

Saya juga tidak mengatakan bahwa sesungguhnya profesi ini lebih sulit daripada profesi lain, namun saya ingin menegaskan bahwa tidak satupun orang berhak untuk merendahkan suatu profesi dibanding yang lainnya. Bahkan untuk petani dan buruh bangunan, tanpa mereka, dokter, guru, artis, bahkan presiden sekalipun akan kesulitan untuk mendapatkan makanan dan memiliki tempat tinggal layak. Hal ini kemudian menyadarkan saya untuk lebih menghormati sesama manusia, karena saya tahu rasanya seringkali direndahkan oleh orang banyak karena pilih hidup saya ini. Namun, saya sadar, tidak semua orang akan mengerti akan hal ini.

Tidak semua orang akan peduli pada perasaan orang lain yang mereka sakiti dengan kata-kata tersebut. Dan saya, sebagai orang yang memilih jalan hidup ini, sebagai orang yang lebih mengerti dan tahu bahwa apa yang sebetulnya saya jalani berbeda dengan apa yang orang lain lihat, serta saya sebagai orang yang lebih mampu untuk berpikirlah yang harus mengalah. Bukan mengalah untuk mereka yang mencemooh saya, namun mengalah untuk diri saya sendiri agar menjadi lebih sabar dan rendah hati. Sebab dua tangan saya tidak akan cukup untuk membungkam mulut-mulut yang memproduksi kalimat-kalimat menyakitkan hati para calon dokter gigi, namun masih mampu jika saya gunakan untuk menutup kedua telinga ataupun mengelus dada.

Sehingga, meskipun awalnya saya marah dan kecewa pada banyak orang yang terus-terusan bertanya kepada saya, “Kok mau cuma jadi dokter gigi?”, saya tahu hal yang harus saya lakukan hanyalah menerapkan kalimat bijak dari Govind Vashdev:

Belajarlah mengalah sampai tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkanmu. Belajarlah merendah sampai tak satu pun yang mampu merendahkanmu.

Because this is my life, I am the only one who will take the responsibility for my choice, not others.

(vem/yel)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading