Sukses

Parenting

Memahami Lebih Jauh Perasaan Rapuh & Hancurnya Anak Korban Perceraian

Hasil penelitian di Britania Raya menyebutkan bahwa; anak – anak broken home memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk terkena gangguan jiwa, kelainan psikologis, penyimpangan perilaku serta hal – hal negatif lainnya dibanding anak – anak ‘normal’ lainnya. Penemuan ini nampaknya juga diamini oleh banyak ahli jiwa di seluruh dunia dan juga masyarakat kebanyakan atas dasar fakta nyata yang terjadi di sekeliling mereka. Bahkan dalam satu kesempatan paparan mengenai angka kriminalitas di Yogyakarta yang baru – baru ini meningkat dengan fenomena cah klithih nya, salah satu penyebab utama anak – anak melakukan tindakan kriminal mereka, karena mereka berasal dari keluarga yang orang tuanya bercerai atau keluarga broken home. Dan ini pun juga tidak menimbulkan kekagetan dari semua pihak, karena sepertinya mayoritas masyarakat telah memiliki pemahamannya sendiri tentang buruknya ‘kualitas’ anak – anak yang dibesarkan dalam keluarga ini. Dalam kesempatan berkenalan dengan anak – anak broken home atau korban perceraian, lalu berdiskusi dari hati ke hati dan akhirnya berbagi kisah dan pengalaman tentang kehidupan mereka, muncul empati tersendiri atas kondisi yang tengah mereka alami di hati kita. Ini juga memunculkan pemahaman bahwa sebagian besar mereka memiliki beberapa kesamaan, bahkan jika lebih cermat menyelidik, mereka akan terlihat memiliki gesture atau bahasa tubuh yang  hampir sama satu dan lainnya. Berikut beberapa kesamaan yang dimiliki oleh anak – anak broken home yang perlu dipahami terutama oleh para orang tua mereka sendiri dan cara bagaimana berempati kepada mereka agar duka lara mereka sedikit terobati.

Anak korban perceraian sebagian besar merasa sangat sakit hati, rapuh dan sedih/copyright thinkstockphotos.com R – Rendah DiriSiapa yang tak kecewa dan malu atas kondisi keluarga yang berantakan dan tercerai berai karena perpisahan ayah dan ibunya?Bahkan ada sebuah kisah di mana seorang anak laki – laki yang tetap menolak keinginan ibunya untuk bercerai dengan ayahnya, walaupun tahu bahwa selama bertahun – tahun ayahnya telah melakukan berulang kali perselingkuhan dan meninggalkan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga yang seharusnya mencukupi kebutuhan keluarganya. Penolakan ini karena rasa malu yang akan dimilikinya jika menjadi anak broken home. Dan hal ini banyak terjadi di sekitar kita dengan atau tanpa kita ketahui jumlah pastinya.Perceraian yang terjadi pada sepasang suami istri dalam sebuah keluarga pasti menjadi aib terbesar bagi anak – anak yang terpaksa terlibat di dalamnya. Aib yang akan mereka miliki dan harus dihadapi dalam sepanjang hidup mereka hingga dewasa, bahkan hingga mereka tua. Aib yang terkadang sedemikian beratnya mereka tanggung, sehingga membuat mereka minder dan rendah diri jika harus berhadapan dengan kondisi di mana di depan orang lain, mereka harus jujur dan membuka diri. A – ApatisAnak – anak broken home telah banyak berupaya, mungkin juga menyatakan pendapatnya kepada para orang tuanya tentang ketidaknyamanan hidup yang harus mereka jalani disebabkan oleh kisruh perceraian para orang tua mereka. Mungkin juga mereka telah kehabisan air mata, kesabaran bahkan penalaran logis yang dibutuhkan untuk menghadapi permasalahan hidup mereka, sehingga akhirnya mereka memilih untuk apatis, diam dan tak lagi menghiraukan apapun yang terjadi dalam keluarganya. Mereka bahkan juga tak akan menghiraukan lagi lingkungan sekitarnya. Apatisnya mereka sangat bisa dimaklumi jika mengingat bahwa mereka telah pada tahap tak peduli lagi bahkan terhadap hidup mereka sendiri. Walau dalam keapatisan mereka, tersimpan bom waktu yang sewaktu – waktu bisa meledak dan menimbulkan kerugian terutama juga bagi mereka sendiri. P – Pesimis & Putus AsaPernahkah mendengar seorang anak melakukan upaya bunuh diri karena putus asa terhadap kondisi keluarganya yang berprahara karena perceraian ayah dan ibunya? Tindakan ini adalah ‘protes’ terkeras yang bisa mereka ambil dan upaya ‘terakhir’ yang mereka anggap sebagai jalan satu – satunya setelah proses penolakan, unjuk rasa dan penyampaian pernyataan – pernyataan yang membentur tembok kuat nan tebal yang tak tergoyahkan.

Pesimis dan putus asa menjadi perasaan yang tak jarang dirasakan anak-anak korban perceraian/copyright thinkstockphotos.comSifat pesimis juga seringkali muncul dalam diri mereka dalam berbagai hal dan permasalahan kehidupan sehari hari. Hal ini wajar, manakala tujuan utama untuk mendapatkan keluarga bahagia tak mereka dapatkan, maka seolah – olah hal – hal yang lain tidak perlu lagi untuk diperjuangkan. Bukankah keluarga adalah segalanya bagi setiap manusia? U – Under PressuredKehidupan keseharian akan selalu berada dalam tekanan, jika ada di dalam keluarga yang penuh dengan permasalahan dan akhirnya malah tercerai berai oleh sebuah perpisahan. Sebagian besar anak – anak broken home adalah anak – anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga bermasalah yang dalam kasus tertentu penuh dengan kekerasan dan mungkin juga ketidakadilan. Anak – anak yang dibesarkan dalam tekanan seperti ini, memiliki kecenderungan untuk menimbulkan permasalahan kejiwaan, kelainan psikologis, perubahan tingkah laku hingga penyimpangan – penyimpangan yang merugikan mereka sendiri. Masa tumbuh kembang yang seharusnya terlepas dari ketakutan, kekhawatiran dan kekecewaan – kekecewaan, akan membentuk mereka menjadi para dewasa yang bermasalah dan nantinya juga akan menimbulkan masalah bagi orang lain.   H – Hidup namun Tidak Benar – Benar HidupDalam menjalani kehidupannya yang penuh dengan permasalahan dan tekanan ini, seringkali anak – anak broken home ini kehilangan semangatnya untuk tetap hidup dan memperjuangkan tujuan hidupnya. Bukan menyerah pasrah pada keadaan, namun cenderung mengalah dalam keterpaksaan lalu menjalani hidup dengan sesuka hati mereka. Anak – anak broken home yang seperti ini, acapkali lalu menjadi orang – orang yang gampang sekali terpengaruh godaan, ajakan atau pengaruh buruk orang – orang dekat yang menawarkan solusi – solusi sementara yang akhirnya dipandang sebagai bentuk pelampiasan atas permasalahan – permasalahan yang telah dan tengah mereka hadapi. Penyalahgunaan narkotika dan obat – obat terlarang, tindak kenakalan remaja yang mengarah kepada perbuatan kriminal, seks bebas serta bentuk kejahatan lainnya, menjadi beberapa contoh yang sering menjadi pelampiasan para anak – anak broken home yang tidak lagi bisa menguasai diri dan tak mampu mengelola gundah hatinya. Banyak pihak yang kemungkinan akan menyangkal isi dari tulisan tentang RAPUHnya anak – anak broken home ini, dengan berbagai alasan yang salah satunya adalah karena mereka tidak melihat dengan mata kepala sendiri tanda – tanda yang serupa atau tak juga mendapati gejala – gejala seperti tersebut di atas tadi. Ya, hal ini bisa dan sering terjadi, karena apa yang dirasakan oleh anak – anak  broken home  ini hampir – hampir hanya bisa dirasakan oleh sesamanya yang mengalami atau saat mereka berurai air mata bercerita kepada orang yang mereka anggap peduli dan memiliki empati.

Tugas kita sebagai orangtua, memahami perasaan mereka dan selalu ada untuk tempat keluh kesahnya/copyright shutterstock.comDalam keseharian, mereka akan tetap tertawa, mereka akan tetap terlihat bergembira, sedang di setiap malam – malam mereka, mereka akan membasahi bantal mereka dengan air mata. Kita tentu tak pernah tahu ketika kita tak memahami mereka. Hanya saja, bagaimana pun anak-anak ini, penting bagi kita untuk terus memberi dukungan bagi mereka, meyakinkan mereka bahwa mereka akan baik-baik saja dan menuntun mereka untuk tetap berada di jalan yang lurus, di jalan yang terarah dan tidak melenceng dari aturan norma maupun agama.  Akhirnya, SPINMOTION sebagai komunitas single parents yang beranggotakan individu – individu yang terlibat langsung dengan permasalahan rumah tangga, perceraian dan anak – anak broken home, dengan motto ‘Jangan Bercerai atau Jadilah Single Parents yang baik’ menyarankan dengan sangat untuk memberikan perhatian lebih dan berempati kepada mereka, anak – anak broken home  di negeri ini.Hal yang anak-anak korban perceraian atau broken home butuhkan bukanlah perlakuan khusus atau dengan cara mengistimewakan mereka, namun lebih kepada bagaimana memahami kondisi mereka dalam empati yang tinggi. Lalu jika mampu, berilah solusi tanpa atau dengan mengajak setiap pihak yang terlibat dengan masalah mereka, untuk setidaknya mengurangi beban mereka dengan sebuah tindakan yang pasti.

(vem/mim)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading