Sukses

Lifestyle

Setelah Berjuang Keras, Akhirnya Aku Menemukanmu, Papa

Sebuah email baru saja masuk di email redaksi Vemale. Sebuah email yang kemudian menyentuh hati kami. Adalah Zenith, seorang pembaca setia Vemale yang kini tinggal di Hong Kong. Ia menceritakan kisah yang benar terjadi di dalam hidupnya. Sebuah kisah haru yang mungkin juga akan menyentuh kalbu Anda semua.

Ini adalah sebuah kisah nyata terjadi pada saya. Kepada Vemale ingin saya ceritakan kisah ini.

Sejak kecil, saya tidak tahu keberadaan papa saya, siapa papa saya. Di kampung kami, saya dan adik kandung saya, saya dibilang anak yatim piatu. Ada juga yang bilang papa saya sudah meninggal namun ada juga yang berkata beliau masih hidup. Tidak jelas mana yang harus saya percaya. Yang jelas, saya ingin sekali bertemu dengan papa.

Walaupun saya tidak pernah mengetahui sosok papa ini, saya rindu sekali ingin bertemu. Ingin merasakan sosok ayah. Ingin melihat wajahnya. Tak jarang,  saya hanya bisa menangis ketika membayangkan bertemu papa. Rasanya ini seperti penyakit. Sebuah penyakit yang selalu menyerang saya 3 kali dalam setahun. Penyakit yang tidak bisa disembuhkan dengan obat apapun.

Suatu saat, ketika saya remaja, seorang tetangga memberitahu saya nama keluarga papa dan di mana mereka berada. Dia bahkan berpesan jika suatu saat ketika saya sudah dewasa nanti, saya harus mencari ayah saya karena dia masih hidup.

Tahun 2000, saya meminta izin ke nenek agar diijinkan ke kota mencari pekerjaan. Padahal tujuan saya sebenarnya adalah mencari papa saya saya rindukan. Papa yang tidak pernah saya lihat rupanya.

Tahun 2002, saya bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah. Tanpa sengaja, saya membuka buku telepon umum dan melihat nama keluarga besar papa saya di deretan nama. Tanpa menunggu banyak waktu, saya pun menelpon satu per satu dan mulai memperkenalkan diri. Kemudian, saya memberanikan diri untuk meminta nomor telepon papa karena saya ingin bertemu.

Mereka bilang, Papa tinggal di Bali tapi tidak ada satu pun yang tahu nomor telepon Papa. SIngkatnya, keluarga kandung Papa menjemput saya dan kami pun berkenalan.

Mungkin ini waktu yang sudah ditulis Tuhan. Papa tahu saya, keinginan saya untuk bertemu. Beliau kemudian meminta saya untuk datang ke Bali, waktu itu umur saya masih 17 tahun. Dengan hati berdebar, menebak-nebak bagaimana sosok Ayah yang selama ini saya cari. Hingga tiba waktunya...

Saya bertemu Papa di pelabuhan. Papa menjemput saya, anaknya yang lama tidak menemukan sosok ayah di dalam hidupnya. Saya merasa bahagia. Sejak pertama menatap rupanya, penyakit rindu yang saya alami dari kecil musnah begitu saja. Berkat kehadiran Papa. Pertemuan itu jelas terpatri di hati dan pikiran saya, tepat sebelum kejadian Bom Bali yang pertama.

Kemudian sebuah kisah pun saya dengar. Mama hamil saat beliau masih di bangku SMA, begitu juga Papa. Keluarga tidak setuju untuk menikahkan mereka. Papa kemudian pergi ke Malang untuk melanjutkan kuliah. Mama pun akhirnya menikah dengan orang lain. Papa juga begitu.

Saya bersyukur, dari kecil, saya dan adik dibesarkan hanya oleh sesosok Mama yang penuh kasih sayang. Bahkan melebihi kasih sayang ayah dan ibu. Sebuah pesan yang selalu saya ingat dari Oma jika kami meminta sesuatu " Jangan minta pada Oma karena Oma tidak punya apa-apa, tapi mintalah pada Bapa yang di surga, Dia lah yang pelihara hidup kalian."

Dari surat ini, kita menyadari bahwa kita yang dibesarkan oleh ayah dan ibu sangat beruntung. Anda tentu tidak perlu merasakan apa yang Zenith alami. Cukup ambil apa nilai positifnya. Selagi bisa, sayangi orang tua Anda. Tidak peduli apa yang mereka perbuat mungkin membuat Anda jengkel, ini hanya bentuk lain dari sebuah kasih sayang. Sayangi orang tua Anda, buat mereka bangga telah membesarkan putra dan putri seperti Anda :)

(vem/dyn)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading