Sukses

Lifestyle

“Siksaannya yang TAK BERBEKAS...”

Dalam semua relationship, ada garis yang memisahkan antara passion dan kontrol. Berikut cara untuk mengetahui perbedaannya. Dan cara untuk melindungi diri Anda...

Ketika saya masih berumur 20an, saya memiliki network teman yang luas, karier yang cemerlang – dan seorang pacar yang mengontrol hidup saya. Dana* sangat ahli dalam hal memanipulasi emosi saya. Pada awalnya, ia pria yang sangat romantis, menelepon saya setiap hari, memuji saya, memberi kejutan kecil dengan membawakan makanan saat saya mesti lembur di kantor. Namun, seiring berjalannya waktu, perubahan terjadi: Ia mulai menginterogasi saya tentang apakah saya benar-benar lembur di kantor atau justru hangout bersama teman-teman. Ia sangat ingin  tahu apa yang saya lakukan setiap saat. Lalu ia akan mencibir kalau saya tak mungkin bisa sukses dalam pekerjaan, tanpa dukungannya. Bahkan, suatu waktu setelah kami bertengkar cukup sengit, ia menuliskan kata “BITCH” di cermin meja rias saya.

Kala itu saya tidak menyadari kalau saya berada di suatu hubungan yang emotionally abusive. Dan ternyata hal semacam ini sering dialami oleh wanita. Menurut satu studi, 77% mahasiswi mengakui pernah – atau sedang – mengalaminya. Para pakar relationship tak memiliki definisi baku menyangkut penganiayaan secara emosional atau psikologis ini, tapi secara umum dijelaskan sebagai perilaku apapun – tak jauh dari kekerasan fisik – yang digunakan untuk memanipulasi, merendahkan, menghina atau menghukum orang lain. Hal ini kerap menjadi tema cerita sebuah opera sabun: Ancaman, menguntit, vandalisme, memonitor secara konstan via telepon atau email. Tapi wujudnya bisa lebih terselubung: Ekspresi emosi berlebihan yang membuat Anda selalu segan merespon, pujian yang abstrak, dan saran yang “kata”-nya sih untuk kebaikan Anda sendiri, yang disertai dengan tawaran membantu mengelola keuangan Anda.

Semua hal ini punya satu benang merah: Kontrol, menurut Dr. Jill Murray, pengarang But He Never Hit Me; The Devastating Cost of Non-Physical Abuse to Girls and Women.

“Sang penganiaya memiliki self worth yang rendah, maka ia pun akan mencoba untuk mengontrol supaya Anda pun merasa buruk terhadap diri Anda juga,” ungkapnya.

Berikut adalah empat kasus yang mungkin awalnya Anda akan menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh, tapi  menurut para pakar relationship justru merupakan hal yang sangat patut diwaspadai.

ABUSIVE SIGN NO.1 Selera Humornya Menyakiti Anda

Memiliki paras yang cantik dan kaki jenjang, Davina*, tak pernah gagal mencuri perhatian para pria. Tapi selama empat tahun masa pacaran, ia mesti bersabar hati diberikan nama “mesra” oleh pasangan berupa buttface – atau butt sebagai kependekan.

“Tentu menyakitkan diberi nama itu,” ujar Davina. “Tapi setiap kali saya  mengutarakan perasaan saya, ia selalu berkilah, ‘Kamu sensitif banget sih, itu kan cuma candaan.’ Dan saya pun membiarkannya karena saya tak ingin terlihat seperti wanita yang kaku atau yang tidak punya sense of humor.”

Tak heran, “candaan” lainnya pun terus berdatangan, dengan nama-nama seperti “Kepala Besar” atau “Kaki Jerapah” dilontarkan kepadanya.

“Banyak wanita mungkin besar di dalam keluarga di mana candaan seperti itu kerap terjadi – dan itu merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari,” ucap Dr. Damary M. Bonilla – Rodriquez, pendiri Girls.Inc., LSM yang berbasis di New York. “Itu berarti Anda akan sering memaksa sikap biasa-biasa saja, padahal sebenarnya Anda sangat terganggu dengan candaan yang dicetuskan.”

Salah satu “hadiah” terbaik yang bisa diberikan oleh sang pasangan adalah kebebasan untuk menertawakan diri sendiri, dan saat ia memberikannya, hal itu juga bisa menjadi petunjuk terselubung kalau Anda sedang bersikap sedikit bossy atau egois. Dan, menurut Murray, membedakan sindiran yang konstruktif atau menjatuhkan sebenarnya tidak terlalu sulit.

“Saat Anda bilang kepada pasangan kalau mereka menyakiti perasaan Anda, respon yang semestinya diberikan adalah, ‘Maafkan saya’,” ujarnya. “Walaupun mungkin si dia merasa punya alasan kuat untuk mengatakannya, tapi kalau ia benar-benar sayang kepada Anda, ia akan mencari cara lain untuk menyampaikannya yang tidak terlalu menyakitkan. Jika ia malah cuek atau bilang Anda terlalu sensitif, maka Anda patut meragukan masa depan relationship Anda.”

Sikapnya yang tegaan ini dapat mempengaruhi Anda secara jangka panjang, lho. Beberapa studi mengindikasikan kekerasan psikologis yang memiliki dampak yang lebih  destruktif daripada kekerasan fisik, yang bisa berujung ke depresi, kegelisahan yang berkepanjangan, kecanduan obat-obatan dan alkohol, bahkan post-traumatic stress. Ejekan adalah wujud emotional abuse yang terparah karena akan membuat Anda meragukan dan menyalahkan diri sendiri.

ABUSIVE SIGN NO.2 Ia Selalu Menginginkan Anda

...Untuk alasan apapun. Silvia* mengalaminya sendiri saat sang pasangan kerap “meneror”-nya untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya ia tidak inginkan, termasuk seks. “Lebih baik saya nyerah supaya ia tidak mengusik saya terus,” kata Silvia.

Dan tuntutan dari pasangan ini  terkemas dalam beragam bentuk: Bisa saja ia meminta Anda untuk melakukan hubungan seks tanpa kondom, meminta Anda untuk mengirimkan foto-foto nakal, atau perilaku seksual lainnya yang sebenarnya Anda tidak ingin lakukan. (Menurut penelitian, alasan para wanita muda melakukan sexting adalah karena tekanan pasangan.) Dan tuntutannya tak melulu berhubungan dengan kegiatan yang berbau seksual – bisa saja dia selalu muncul saat Anda ingin quality me-time atau sedang bersama the girls; menuntut Anda untuk tidak menghabiskan waktu bersama keluarga; atau ia terus-terusan menelepon Anda, padahal Anda sudah meminta si dia untuk tidak melakukannya. Apapun itu, segala perangainya mesti ditanggapi dengan serius.

“Ini adalah salah satu pertanda yang mengkhawatirkan,” kata Murray, “Ia tidak menghormati ruang pribadi Anda, karena yang ia pahami hanyalah Anda eksis semata untuk kesenangannya. Jika Anda tak menuruti permintaannya, bisa saja dia jadi murka.”

Bahkan, salah satu momen paling berbahaya dalam suatu abusive relationship adalah saat sang korban berupaya untuk memutuskan hubungan dan sang pria jadi berang lantaran lepasnya kontrol terhadap pasangan.

ABUSIVE SIGN NO.3 Ia Tiba-tiba Hilang

Pelajaran pertama dalam hal cinta yang diperoleh oleh Aliana*, 19 tahun, adalah saat ia melihat relationship yang berjalan antara sang kakak dan pasangan yang tinggal bareng di rumah. Ia memiliki “kursi VIP” atas pertikaian di antara mereka yang kerap terjadi. “Kakak saya tak terbiasa dengan seseorang terus-terusan bertanya, ‘Kamu ada di mana? Kapan kamu pulang?’” ingatnya. “Alhasil mereka selalu terlibat dalam pertengkaran sengit, yang biasanya berakhir dengan kakak saya pergi dan menghilang selama berhari-hari.”

Ketika pasangan memutuskan untuk menghukum Anda dengan menghilang secara fisik maupun emosional, maka tak ada hal lagi yang bisa Anda lakukan. “Apabila Anda dibesarkan di keluarga yang tidak mendorong Anda untuk mengekspresikan perasaan dan opini, maka hal ini tidak akan menjadi masalah,” ujar Bonilla-Rodriguez. “Meskipun Anda tidak merasa nyaman, tapi karena sudah terbiasa, maka Anda pun tidak mengacuhkannya.”

Masalahnya adalah, penarikan diri tersebut bisa mengusik pikiran Anda – nonstop. Manusia adalah makhluk sosial; kita butuh interaksi supaya bisa tetap merasa waras. Ketika pasangan mendadak memisahkan Anda dari kebutuhan tersebut, dampaknya bisa serupa dengan kasus seorang anak kecil yang tertelantarkan: Anda akan merasa kehilangan dan susah untuk berkembang.

“Mengatakan ‘time out’ di tengah argumen lebih baik,” ujar Murray, “tapi tidak dianjurkan untuk tiba-tiba menghilang dan tak  menggubris pasangan Anda sama sekali. Sikap tersebut tidak mengekspresikan, ‘Oke mari kita bahas masalahnya setelah kita lebih tenang karena ini adalah sesuatu yang penting dan saya mau menemukan solusinya,’ tapi justru ‘I don’t care about you.’”

ABUSIVE SIGN NO.4 Ia ingin “melindungi” Anda

Di akhir hubungan saya dengan Dana*, saya baru menyadari semua perilakunya memiliki satu benang merah: Ia selalu ingin membuat saya bergantung kepada dia.

Sama halnya ketika pasangan menawarkan diri untuk mengelola keuangan Anda. Sangat mudah untuk menerima kebaikannya, walaupun tanpa Anda sadari keputusan itu justru akan melepaskan tanggung jawab Anda sebagai orang dewasa. Yasmin*, seorang penyanyi muda, sampai sekarang menyesali keputusannya untuk menyerahkan urusan karier – termasuk keuangan – kepada sang mantan kekasih. Bahkan untuk syuting video klip pun ia ingin ikut campur. “Awalnya saya pikir ia hanya ingin membantu,” tuturnya. “Tapi kemudian saat syuting saya melihat ia terus ‘menjual’ diri ke sang sutradara dan meremas bokong saya setiap lima menit hanya untuk membuktikan kalau saya adalah miliknya.”

Sikap posesifnya, yang tercampur dengan kecemburuan, lambat laun kian melonjak. Suatu hari ia terus-terusan bertanya saya chatting dengan siapa di Facebook. “Ketika ia menuduh saya chatting dengan mantan pacar, ia jadi marah besar. Ia menampar saya, dan saya ingat betapa takutnya saya berada di satu ruangan bersama dia. Kemudian ia mendorong saya ke dinding lalu mencengkeram leher saya. Ia tidak berhenti sampai ia menyadari saya benar-benar tidak bisa bernapas.” Sejak relationship-nya berakhir, Yasmin telah banyak memberikan pengarahan kepada wanita dalam menghadapi kekerasan fisik dan emosional. Sejak saat itu, ia juga mulai lebih saksama memperhatikan apakah pria yang ia kencani memiliki tendensi perilaku yang posesif.

“Saya sering bertemu dengan wanita yang mengatakan kalau salah satu indikator seorang pria menyukainya adalah kalau mereka merasa cemburu saat ia berada di dekat pria lain,” ceritanya. “Namun bagi saya, that’s a dangerous sign.”

Source : Cosmopolitan Edisi Maret 2013 halaman 231

(vem/cosmo/dyn)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading