Sukses

Lifestyle

Menuju Cinta Halal Anisa

Saya tidak pernah mengira, adik lelaki saya yang bisa ganti pacar 3 kali setahun, melabuhkan cintanya pada seorang perempuan biasa hari ini dalam bahtera pernikahan. Sebelumnya Nino selalu gonta-ganti pacar. Dari yang wajahnya unyu, yang bodynya seksi, yang anak punk, hingga seleb twit. Kalau sudah bosan, Nino akan meninggalkan pacar-pacarnya begitu saja.

Kalau sudah begini, saya yang repot. Pasalnya, Nino lebih berani mengenalkan semua pacarnya kepada saya daripada ke mami. Maklum, mami kami orangnya seperti scanner dan investigator jadi satu. Kalau ketemu pacar anaknya, bisa dilihat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Waktu makan bareng juga pertanyaannya banyak, bertubi-tubi sampai bikin semua pacar dan gebetan saya serta Nino paling kecemasan kalau diajak ke rumah.

Oke, kembali pada topik, si Nino. Ketika Nino menghilang dari kehidupan pacarnya, maka gadis-gadis itu akan datang pada saya, kakak perempuannya. Mereka bisa telepon saya di tengah malam atau pagi buta hanya untuk nangis-nangis laporan kalau mereka nggak bisa melupakan Nino. Saya pun jadi sibuk menenangkan dan menganjurkan mereka untuk melupakan Nino.

“Gila kamu, No. Kamu pelet pakai apa sih anak-anak itu sampai susah banget dibilangin buat move on?” tanya saya suatu ketika pada Nino,

“Yah, maklum dong, Kak. Mereka kan kebanyakan anak SMA sama semester awal gitu. Jadi masih agak sinetron gitu deh. Ntar juga lupa sendiri,” kata Nino sambil asik main video game.

“Kamu juga kenapa sih nggak awet banget sama satu cewek? Sinta ya Sinta aja, kenapa kudu TTM-an sama si anak punk itu. Ng.. siapa tuh namanya?” tanya saya.

“Kiki, Kak Nin.. ADUH! Tuh kan aku jadi nabrak. Ahh.. Kak Nina sih pakai sebut nama keramat itu,” keluh Nino.

Melihatnya kalah bermain game, saya justru tertawa terbahak-bahak. “Ya gitu kalo kebanyakan ‘istri’. Kuwalat tuh karena kamu suka mainan cewek trus kalo udah putus Kak Nina yang disuruh mutusin.”

Nino meringis kecil, “Ahh.. itu kan adiknya Kak Nina juga.”

Huff.. benar juga. Mantan-mantan Nino memang kebanyakan masih ABG yang terdramatisir. Ouch… Pikir mereka karena saya dikenalkan pada mereka lantas mereka sudah bagaikan ‘adik ipar’ saya. Pakai add saya di akun Facebook mereka untuk dicantumkan di daftar keluarga mereka sebagai ‘Sister’. Lalu karena saya adalah orang yang tidak tegaan, saya nggak enak dong mau menghapus mereka dari ‘Kartu Keluarga Facebook’ saya.

Jadilah saya punya ‘adik-adik’ yang nggak kalah memusingkannya dari Nino. Punya Nino saja sering bikin saya pusing. Seringkali saya kasihan sih setiap kali Nino bawa pacar barunya kepada saya. Seolah saya sudah tahu endingnya akan bagaimana. Tapi yang paling parah adalah ketika Nino memutuskan seorang mantan pertamanya saat masih SMA bernama Tari.

Tari anak bungsu dan sepertinya anak kesayangan. Wajahnya manis, rambut panjang lurus berponi dengan gaya bicara yang manja-manja tapi menyenangkan. Tapi karena Tari gampang cemburu, Nino jadi enggan dan memutuskan Tari. Awalnya Tari jual mahal, tapi setelah tahu Nino sudah menggandeng anak paling seksi di sekolahnya yang bernama Brenda, Tari datang ke kampus saya sambil menangis.

“Kak Nina.. Kak Nina, Tari nggak bisa hidup tanpa Nino. Tari sayang banget sama Nino,” ujarnya terisak-isak di kantin kampus sampai banyak pasang mata melihat ke arah kami. Malu banget sih, tapi Tari terlihat lemas karena mengaku belum makan, jadi saya ajak ke kantin untuk makan.

“Ya udah, Tari sayang. Kamu jangan sedih terus, ya? Mungkin perpisahan ini bisa mendewasakan kalian. Kakak yakin kok banyak pria yang lebih baik buat Tari,” kata saya seperti adegan-adegan sinetron sambil membelai rambutnya.

Tari menggeleng dan mengusap air mata dengan tisu satu gulung yang sudah tersisa separuhnya. “Nggak bisa, Kak. Tari lebih baik mati aja kalo nggak ada Nino, Kak.”

Waduh, nggak lucu nih kalau sampai Tari benar-benar mau bunuh diri. Karena Tari mengaku sebelumnya dia sempat akan bunuh diri di toilet sekolah dan diselamatkan teman-temannya. Nino mengakui kejadian itu ketika saya tanya. Gara-gara hal ini, hampir setiap malam saya ditelepon Tari yang menceritakan kegalauannya.

Namun itu kisah lama. Seorang gadis berjilbab bernama Anisa menjadi pamungkas tingkah genit Nino. Wajahnya tidak cantik karena makeup tebal yang sering saya lihat pada wajah pacar-pacar Nino sebelumnya. Anisa sering menunduk tapi kalau orang melihat wajahnya, memang akan betah karena senyumnya sangat ramah dan manis. Ia anak Abah Usman, seorang tetangga yang sering jadi imam di masjid perumahan.

Abah Usman terkenal keras, religius dan disiplin. Anaknya tiga dan Anisa adalah satu-satunya anak perempuan. Anisa kebetulan satu kelas dengan Nino di kampus. Awalnya Nino bilang hanya iseng mendekati Anisa. Siapa sangka Anisa bisa bikin Nino penasaran?

Ternyata Anisa tidak mengenal istilah pacaran. Ketika didekati oleh Nino beberapa kali dan si playboy itu hendak menembaknya, Anisa berkata, “Maaf, Mas. Terima kasih sudah jujur, tapi Anisa nggak bisa terima cinta yang belum halal.”

Awalnya Nino masa bodoh dengan hal itu. Ditolak ya sudah, memang Nino tidak terlalu mengharapkan Anisa. Namun, mungkin memang sudah waktunya Nino belajar. Anak itu seperti terusik harga dirinya karena ditolak Anisa. Nino pun mulai rajin sholat ke masjid, tapi tujuannya tak lain adalah untuk mematahkan prinsip Anisa. Nino pikir kalau dia sholat, maka Anisa akan bersedia menjadi kekasihnya.

Sayangnya, Anisa tidak begitu terkesan dengan hal itu. Begini kata Anisa, “Sholatlah karena Allah, Mas. Bukan karena ingin membuktikan kepada Anisa.”

Sontak kalimat tersebut ‘menampar’ Nino. Adik bungsu saya itu belum pernah ditolak oleh anak perempuan yang ditaksirnya. Namun kali ini Anisa tidak hanya menolak permainan cintanya, namun juga menunjukkan keteguhan prinsipnya bahwa dia tidak bisa disamakan dengan gadis-gadis yang selama ini dipacari Nino.

Sejak saat itu, Nino agak pendiam dan selama beberapa bulan tidak mengenalkan gadis manapun pada saya. Namun pernah suatu kali saya dan mami terhenyak karena Nino mengaji setelah maghrib. “Kok tumben Nino ngaji, Nin?” tanya mami pada saya. Senyum kecil saya mengiringi jawaban pada mami, “Habis ditolak sama anaknya Abah Usman, Mi. Kena hidayah kayanya.”

Begitulah Nino jadi rajin sholat dan mengaji. Celana jeansnya yang sering dipakai melorot, kini dinaikkan ke pinggang. Pakaiannya lebih rapi, kadang-kadang pakai baju koko, Nino juga jadi lebih wangi dan lebih serius kuliahnya. Ketika saya meledek, “Dahsyat juga nih efeknya Anisa?” Nino hanya senyum dan berkata, “Nino kan udah gede, Kak. Udah bukan waktunya main-main lagi.”

Satu semester kemudian Nino lulus kuliah setahun lebih cepat. Tanpa berlama-lama, Nino melamar pekerjaan. Dan tanpa pernah saya dengar dia berpacaran dengan Anisa, beberapa bulan setelah Nino bekerja, ia mengutarakan niatnya melamar gadis berjilbab itu. Dia minta ijin pada saya untuk menikah lebih dulu.

Saya tidak banyak berpikir dan mengiyakan permintaannya. Awalnya saya ragu kalau tanpa pacaran apa lamaran itu bisa diterima. Ternyata Abah Usman yang terkenal sangat protektif terhadap Anisa bahkan dengan senyuman menyambut maksud baik Nino dan keluarga kami. Saya sendiri saja pacaran dua tahun masih sering takut dan sungkan dengan orang tua pacar saya.

Hari ini adalah hari pernikahan keduanya. Semalam saat mengunjungi Anisa yang fitting baju pengantin, saya sempat sharing dan bertanya, “Kenapa kamu bisa terima Nino begitu saja padahal belum pernah pacaran? Kamu tolak juga kan sebelumnya?”

Seperti biasa, dengan senyum manisnya Anisa menjawab. “Kelihatannya aneh kan, Kak? Tapi menurut Anisa, Nino sudah memahami cinta yang halal, jadi Anisa dan Abi bisa terima. Nggak pacaran bukan berarti nggak cinta, Kak. Cinta kami saling bertautan menuju Allah. Daripada pacaran, halalkan saja dengan pernikahan.”

Mendengar hal tersebut, saya sedikit tertegun. Sebagai wanita saya sebenarnya baru mengerti pola pikir ini. Anisa. Namun saya akui Anisa benar, dia memang punya prinsip mengenai cinta dalam agamanya, yang lebih saya kagumi adalah keteguhannya sebagai wanita muslim. Anisa mampu menjaga hati dan mengajarkan Nino bagaimana merawat cinta hingga tiba waktunya mereka menghalalkannya.

Saya merasa lega Nino mendapatkan wanita yang baik dan mengakhiri petualangan cintanya yang sinetron banget. Kini Nino punya cinta yang halal, lebih realistis dan insya Allah bahagia selama-lamanya.

(vem/gil)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading