Sukses

Parenting

Mengejutkan, Indonesia Sudah Masuk Zona 'Darurat Perceraian'

Kembali sedikit mengulik tentang dunia rumah tangga dan permasalahannya, akhir-akhir ini semakin banyak saja terdengar problema rumah tangga yang diangkat di berbagai media. Utamanya adalah rumah tangga para publik figur dan orang ternama. Dan salah satu problem terbanyak yang mendera adalah perceraian yang terjadi dalam rumah tangga mereka.

Sudah menjadi hal yang wajar dewasa ini, perceraian menjadi bahasan. Diberitakan, disebarluaskan dan ditularkan. Menular? Bisa jadi argumentatif dan banyak bantahan. Masing-masing kita punya pendapat sendiri berdasar berbagai macam kajian.

Tapi silakan simak satu pendapat seorang ahli di bidang psikologi. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bercerai akan memiliki kecenderungan untuk lebih mudah melakukan yang sama saat menjalani perkawinannya nanti. Karena mereka telah belajar dan memahami bahwa ternyata 'tak ada cinta tanpa syarat' dalam hubungan suami istri. Karena mereka sudah merasakan, sekalipun ada mereka, tidak ada yang bisa menghalangi keinginan bercerai bapak ibunya yang sudah diyakini. Dan ini terbawa hingga dewasa nanti.

Tapi silakan simak data yang diterbitkan dari lembaga pemerintahan dan instansi resmi, paling tidak dari BKKBN dan Kemenag RI ini. Yang menyebutkan bahwa jumlah perceraian semakin banyak dari hari ke hari. Mengejutkannya lagi, kini mencapai 1000 kasus perceraian per hari. Bahkan secara statistik, grafiknya menaik dan semakin meninggi. Dan predikat 'Darurat Perceraian', konon sudah dimaklumatkan untuk kondisi negeri ini.

Ada juga keyakinan bahwa sendiri lebih mudah dan jadi pilihan kalau berdua hanya membawa masalah dan musibah. Hingga mereka memilih untuk bercerai lalu berpisah. Mencoba peruntungan dengan sendiri, atau mencari pasangan yang lebih baik dengan lebih teliti memilih, cermat memilah. Dengan berpegangan pada pengalaman yang sudah-sudah.

Namun apa yang didapati untuk memulai lagi hubungan baru tidaklah mudah bahkan rumit dan komplikatif. Karena trauma, karena pengalaman, membuatnya menyusun syarat dan ketentuan yang wajib untuk dipenuhi calon keduanya, dan dilakukan secara selektif. Karena sadar, perceraian sebelumnya telah menimbulkan dampak bagi dirinya secara permanen dan kompulsif. Apalagi jika dirinya harus membawa anak-anak sebagai bagian paket perkawinan yang harus diterima pasangan baru sebagai syarat yang definitif.

Dan jika melihat data statistik kembali. Lebih banyak 'alumni perceraian' yang memilih untuk menjadi jomblo abadi. Karena kesulitan meyakinkan diri atas hubungan selanjutnya yang akan lebih baik dan akan sesuai dengan janji suci. Atau karena kekhawatiran konflik yang lebih besar dalam rumah tangganya nanti karena hadir di dalamnya status tiri. Karena lebih sayang pada anak-anaknya hingga mengorbankan ego dan kebutuhan diri sendiri.

Sendiri menjadi pilihan mudah, jika berdua hanya menimbulkan masalah, apalagi bertiga dalam satu wadah. Demikian keyakinan yang semakin membuncah, semakin mewabah. Janda dan duda ada di mana-mana dalam komposisi rasio 2 berbanding 8 dari jumlah rumah tangga Indonesia yang terus bertambah. Dan dalam rumah tangga para janda dan duda itu, ada lebih banyak lagi anak-anak yang dibesarkan dalam gundah dalam masalah. Diakui atau tidak, mereka adalah bagian dari masa depan negeri ini yang semakin hari semakin tak tentu arah karena kompas yang dipegang pun selalu diganti dan selalu diubah.

Dan jika cerai tak disuka oleh Tuhan, akankah Tuhan jadi benci pada negeri ini? Mari cari jawabannya untuk keyakinan diri sendiri dan sekedar introspeksi.

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom
Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading