Sukses

Beauty

Hati-Hati, Gangguan Mental Memicu Tindak Kekerasan

Oleh Yulina Eva Riany

Mahasiswa Program Doktoral bidang Pendidikan dan Rehabilitasi Anak Berkebutuhan Khusus di The University of Queensland, Australia, juga Dosen Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB)

Penembakan massal oleh remaja penderita gangguan mental Adam Lanza (20) di Connecticut, Amerika Serikat beberapa waktu lalu adalah tragedi memilukan yang menghentak kesadaran publik akan pentingnya penanganan penderita gangguan mental secara cermat dan proporsional. Aksi brutal yang menewaskan 20 anak tak berdosa serta tujuh orang dewasa, termasuk ibunya sendiri itu, menjadi peringatan keras agar semua pihak dapat mengarahkan keberadaan para penderita ganggung mental ini agar tidak menjadi ancaman dan bahaya bagi masyarakat lingkungan di sekitarnya.

Gangguan mental yang tidak mendapatkan pendampingan yang memadai berpotensi melahirkan tragedi-tragedi serupa. Sebelumnya, seorang mahasiswa pascasarjana dengan gangguan mental juga melepaskan tembakan bertubi-tubi saat lounching film Batman terbaru di sebuah bioskop di Colorado, Amerika, hingga menewaskan 12 korban jiwa. Insiden serupa juga terjadi pada 2007, di mana mahasiswa teknik asal China bernama Cho Seung-Hui (23)juga tega menghabisi 32 nyawa temannya di asrama Blacksburg dan di kampus Virginia Polytechnic Instituteand State University, setelah dirinya tak kuasa menghadapi tekanan batin yang akut.

Trend potensi kekerasan oleh penderita gangguan mental di negara-negara maju memang cenderung meningkat. Hal itu dipengaruhi oleh tingginya tingkat stres dalam dinamika masyarakat modern yang ditopang oleh mudahnya akses mendapatkan senjata dengan sistem perijinan yang longgar. Walhasil, pemuda yang cerdas, lugu, tetapi anti-sosial laiknya Adam Lanza memiliki kesempatan terbuka untuk mengekspresikan luapan emosinya dengan alat-alat mematikan yang berakibat pada jatuhnya korban jiwa.

Penderita gangguan mental dicirikan oleh karakter pribadinya yang cenderung introvert, suka menyendiri, serta sulit berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.Gangguan mental didefinisikan sebagai pola psikologis atau perilaku yang berkaitan dengan kondisi stres atau kelainan mental yang tidak dianggap sebagai bagian dari perkembangan normal manusia. Gangguan ini merupakan kombinasi afektif, perilaku, serta komponen kognitif atau persepsi, yang berhubungan dengan otak atau sistem saraf yang menjalankan fungsi sosial manusia. Stres yang berkepanjangan dan mengarah ke depresi merupakan potensi utama penyebab gangguan semacam ini. Gangguan mental tidak serta merta dapat dideteksi secara kasat mata. Seringkali kondisi tersebut tersembunyi di balik sikap penderita yang cenderung membatasi diri dari lingkungan sosial di sekitarnya. Untuk itu, diagnosa dan observasi oleh psikiater ataupun psikolog klinis sangat dibutuhkan untuk mendeteksi status gangguan semacam ini.

Yang menarik untuk digarisbawahi adalah, penderita gangguan mental pada dasarnya tidak membahayakan orang lain. Adapun sifat agresif mereka umumnya dilakukan untuk menyakiti dirinya sendiri (self-injury behaviour)daripada menyakiti orang lain di sekitarnya (Stuart, 2003). Tetapi dalam banyak kasus di masyarakat, tak terkecuali masyarakat Indonesia sendiri, merekajustru seringkali dijadikan korban kekerasan oleh lingkungan sekitarnya. Kecenderungan yang tidak agresif itu bisa berbalik ketika tekanan mental mereka mencapai titik kulminasi yang berujung pada depresi yang sangat hebat, ditambah perlakuan kasar dan kekerasan yang akan memicu mereka untuk bertindak serupa. Semakin sering penderita itu mendapatkan perlakuan kasar oleh orang-orang terdekat, maka karakter agresifnya akan semakin kuat hingga melahirkan ancaman dan bahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Karena itu, praktik kekerasan hingga pembunuhan yang dilakukan penderita gangguan mental terhadap orang-orang di sekitarnya, tak ubahnya merupakan respon balik atas sikap dan perlakuan yang diterimanya hingga daya tahan stres mereka tidak lagi mampu menoleransi.

Dalam konteks tragedi Adam Lanza di Amerika, hasil investigasi sementara yang beredar di berbagai sumber media memberikan legitimasi atas pandangan di atas. Kenyataannya Adam adalah seorang anak muda yang terluka dan tidak bahagia dalam kehidupan keluarganya sejak kecil. Diduga setelah mengalami rangkaian tindakan yang tidak menyenangkan, Adam akhirnya mengekspresikan kemarahan yang dirasakan melalui aksi brutalnya terhadap massal.

Untuk itu, pola interaksi, proses pendampingan, dan penanganan kelompok penderita gangguan mental semacam ini hendaknya menghindaripenggunaanancaman, intimidasi dan praktik hukuman fisik dalam mendisiplinkanmereka.Tidak jarang kita temukan di masyarakat bahwa seseorang yang dideteksi mengalami gangguan mental diperlakukan secara kasar, disiksa, diisolasi dalam ruangan, dikerangkeng, atau bahkan dipasung. Semua itu seringkali dilakukan dengan alasan yang tidak logis, yakni untuk mengusir roh jahat atau mengembalikan kesadaran yang hilang. Jika pola penangangan seperti itu terus berlanjut, dapat dipastikan sifat garang dan watak agresif mereka akan semakin terasah dan tajam.

Selain itu, sikap masyarakat yang membatasi diri dalam pergaulan dengan kelompok berkebutuhan khusus ini juga semakin merunyamkan persoalan. Mereka umumnya terbawa oleh stigma dan kekhawatiran yang tidak berdasar. Tudingan gangguan mental sebagai karma, kutukan, atau anggapan bisa menular ke orang di sekitarnya, justru akan meningkatkan sikap diskriminatif masyarakat terhadap keberadaan mereka hingga menambah beban psikologis dan tekanan mental-sosial karena merasa tidak dihargai, tidak dilibatkan, dan juga disingkirkan. Walhasil, agresifitas mereka akan terpicu karena merasa tengah menghadapi ancaman yang berbahaya bagi eksistensinya. Karena itu, dukungan sosial untuk dapat lebih menghargai keberadaan mereka menjadi sangat penting untuk menekan potensi kekerasan di kalangan penderita gangguan mental ini.

Selain membutuhkan intervensi sosial, peran keluarga juga menjadi faktor paling menentukan guna menekan potensi kekerasan mereka. Keluarga sebagai unit terkecil, terdekat, dan utama memegang fungsi yang sangat vital bagi strategi penanganan penderita. Pemberian perhatian, penghargaan, dan pengakuan dalam setiap interaksi keseharian menjadi penting untuk menghadirkan pola pengasuhan yang positif (positive parenting) di lingkungan terdekat mereka (Sanders, 2003).         

Upaya pembedaan pengasuhan antara anak berkebutuhan khusus dan anak lain pada umumnya harus dihindari. Positive parentingdengan menerapkan sikap positif akan mengajak mereka menduplikasi atas apa yang mereka hadapi. Karena pada dasarnya, anak berkebutuhan khusus juga tetap memiliki kemampuan dasar untuk memahami setiap hal yang sering disaksikan dalam kehidupan sehari-harinya, tentu dalam standar dan jangkauan keterbatasannya.Asumsi tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh the Australian Institute of Criminology(2010) yang menyatakan bahwa kecenderungan pelaku tindak kekerasan adalah mereka yang menerima kekerasan di awal kehidupannya. Karena itu, pengelolaan emosi untuk selalu menghindari sikap konfrontasi tidak kalah penting untuk diperhatikan dalam proses penanganan mereka.

Melalui penerapan sikap positif dan cinta kasih kepada anak, semakin besar harapan mereka untuk tumbuh menjadi pribadi dewasa positif dan tidak menyimpan karakter agresif yang mengancam orang di sekitarnya. Teladan sikap orang tua atau pengasuh sehari-hari adalah kunci penting bagi perkembangan jiwa mereka. Mengupayakan untuk selalu menyediakan atmosfer dan lingkungan yang menyenangkan bagi mereka menjadi penting untuk diperhatikan. Lingkungan yang menyenangkan memudahkan kita berinteraksi secara langsung dan mengajak mereka untuk selalu berhubungan dengan hal-hal positif, menarik, dan menenangkan. Dengan pola intervensi dan model pengasuhan seperti itu, diharapkan tragedi Adam Lanza tidak akan terulang kembali, khususnya di masyarakat Indonesia.

(vem/dyn)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading