Sukses

Parenting

Meski Tidak Kaya, Bapak Selalu Punya Cara Bahagiakan Anak-Anaknya

Setiap ayah yang baik akan melakukan apapun untuk membahagiakan anak dan keluarganya. Sekalipun harus bersusah payah dan banting tulang, seorang ayah akan selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat seorang anak bahagia, seperti kisah yang ditulis sahabat Vemale untuk Lomba Menulis Spesial Hari Ayah ini.

***

Suasana begitu sepi ketika kaki-kaki kecil berjalan beriringan menyusuri lorong panjang sebuah sekolah menuju ruangan kecil di pojok. Dengan alasan mengisi waktu di jam kosong, aku dan temanku memilih untuk berkunjung ke ruang BK. Di ruang itulah kami bertemu dengan seorang mahasiswi psikolog yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya.

Saat itu aku berpendapat jika psikolog adalah orang yang dapat membaca isi hati kita, sehingga aku pun merasa tergelitik untuk mengujinya. Lalu, ia menyuruhku menggambar sebuah rumah dengan dua pohon, maka kuikuti perintahnya. Ketika kuletakkan kembali penaku, ia mengamati hasil karyaku sambil berujar, “Kedekatanmu dengan kedua orangtuamu hanya sebatas kewajiban anak pada ayah ibunya.”

Hingga beberapa tahun berlalu, kata-katanya masih terus terngiang di kepalaku. Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah itu benar? Sepanjang yang kutahu, aku cukup sering mengobrol serta bercengkrama dengan Ibuku, meskipun sebenarnya aku tidak pernah mencurahkan isi hati atau rahasiaku kepadanya, seperti yang biasa dilakukan anak perempuan pada ibunya. Sedangkan hubunganku dengan Bapak bisa dibilang tidak terlalu dekat, bahkan terkesan datar-datar saja. Tak ada kisah menarik yang terjadi di antara kami.

Jika dibandingkan dengan kakak atau pun adikku, bisa dibilang aku adalah anak yang paling tidak dekat dengan Bapak. Kakakku adalah anak yang paling dinantikan kelahirannya ketika Bapak dan Ibu menikah, sehingga wajar jika ia cukup dekat dengan Bapak. Sedangkan adikku memiliki umur yang terpaut cukup jauh dengan kakak-kakaknya, karena itulah ia menjadi pelipur lara bagi Bapak ketika anak-anaknya yang lain mulai tumbuh dewasa dan sibuk mengurus kehidupannya masing-masing.

Bapak bukan hanya menjadi ayah bagiku dan saudara-saudaraku, tetapi juga bagi sepupuku yang telah kehilangan ayahnya sejak dalam kandungan. Bapak memperlakukannya seperti anak kandungnya sendiri. Jika Bapak membelikanku sebuah hadiah, maka tak lupa ia membelikannya juga untuk sepupuku. Tak heran jika sepupuku juga memanggilnya dengan sebutan “Bapak”.

(vem/nda)

Ketika Suatu Hari Bapak Membelikanku Sepatu

Bapak adalah sosok pekerja keras. Ia merantau dari sebuah desa untuk mengubah nasibnya. Saat aku kecil, sering kulihat ia bekerja hingga larut malam. Pulang-pergi ke luar kota dengan uang pas-pasan merupakan aktivitas sehari-harinya. Panas matahari, debu, dan keringat adalah sahabatnya. Kulitnya yang menghitam dan keriput di wajahnya seolah menjadi simbol kerja kerasnya selama ini. Pernah suatu ketika bapak mengatakan bahwa ia melakukan semua itu karena tidak ingin anak-anaknya merasakan kerasnya hidup seperti yang pernah dilaluinya.  

[startpuisi]Meskipun Bapak bukanlah orang kaya, ia selalu mempunyai cara untuk membahagiakan anak-anaknya. Masih kuingat jelas, ketika kami harus memecah celengan hanya untuk pergi berjalan-jalan ke pasar malam. Namun, momen yang paling kuingat adalah ketika kami pergi membeli sepatu ke sebuah department store dengan uang yang tak seberapa. Saat itu aku menginginkan sebuah sepatu yang harganya cukup mahal. Kulihat Bapak terus bertanya kepada si pelayan apakah ada potongan harga. Sayangnya tidak ada. Aku masih menginginkannya dan akhirnya Bapak pun membelikannya tanpa mengeluh sedikit pun.[endpuisi]

Kini, jika kulihat seorang pria tua dan anaknya yang berpenampilan sederhana di sebuah department store, kenangan masa kecilku itu selalu bangkit.

Aku Sempat Menuduh Bapak Tidak Menyayangiku

Dalam kehidupan, ada kalanya kita berada di atas dan ada kalanya berada di bawah. Begitu juga dengan hidupku. Seiring berjalannya waktu, perekonomian keluarga kami mulai membaik. Kini kami dapat pindah ke rumah yang lebih besar. Kebahagiaan kami semakin bertambah dengan hadirnya anggota keluarga baru, yakni adikku. Semua itu berkat kerja keras dan doa Bapak selama ini.

Namun, dengan bertambahnya usiaku, aku semakin jauh dari Bapak. Di masa remajaku, emosiku masih belum stabil sehingga aku sering bertengkar dengan Bapak hanya karena hal-hal kecil. Setiap hari ada saja yang dipermasalahkan.

Bapak memang tidak pernah melarangku ini itu atau menyuruhku melakukan hal yang tidak kuinginkan. Tidak pernah marah dengan nilaiku yang jelek, atau pun menyuruhku masuk ke jurusan yang diinginkannya, seperti yang dilakukan ayah teman-temanku kepada anaknya. Karena kebebasan yang diberikannyalah terkadang aku menjadi merasa tak diperhatikan. Kadangkala aku juga sering merasa Bapak berat sebelah pada anak-anaknya, contohnya ketika ia menolak saat aku meminta ponsel baru. Namun, ketika kakakku yang meminta, ia langsung memberikan uangnya.  

Aku sempat protes dan berkeluh kesah pada Ibu. Aku menuduh Bapak tidak menyayangiku. Namun, Ibu selalu mengatakan padaku bahwa Bapak tidak seperti yang kupikirkan. Ibu justru menyuruhku untuk mengubah sikapku yang masih kekanak-kanakan yang sering menjadi penyebab pertengkaranku dengan Bapak. Aku pun berusaha menurutinya. Perlahan, pertengkaran-pertengkaran itu mulai sirna. Namun, kini aku justru lebih jarang berinteraksi dengannya.

Tapi Kini Kuyakin Bapak Menyayangi Kami Semua


Tak lama kemudian kakakku menikah. Di hari pernikahannya, kulihat Bapak menangis saat kakakku mencium tangannya. Sungguh pemandangan yang tak biasa. Ternyata pria tangguh ini bisa juga menangis, batinku. Kala itu kakakku juga mengatakan padaku bahwa kebahagiaan terbesarnya di hari itu adalah ketika Bapak sendirilah yang menjadi wali dalam pernikahannya. Detik itu juga aku memanjatkan doa agar kelak Bapak juga dapat menjadi wali di pernikahanku.

Ketika memasuki masa kuliah, aku mulai mengenal orang-orang dari latar belakang yang berbeda-beda. Cerita tentang ayah mereka pun beragam, tetapi yang paling terngiang dalam benakku adalah ketika salah seorang temanku mengatakan bahwa ia tidak bisa melihat sosok ayah dalam ayahnya sendiri dikarenakan luka yang telah ayahnya torehkan padanya dan keluarganya. Setelah mendengar hal itu, aku merasa sangat bersyukur memiliki ayah seperti Bapak.

Kini aku mulai membuka diri pada Bapak. Kami pun lebih sering berbincang santai atau pun berdiskusi. Tak lupa ia selalu memberikan petuah berharga padaku di sela-sela perbincangan. Aku jadi semakin yakin bahwa sebenarnya ia sangat menyayangiku. Hanya saja ia bukan pria romantis yang dapat dengan mudah mengungkapkan kasih sayangnya dengan kata-kata.

Di hati aku selalu berkata bahwa aku menyayanginya. Dalam sujudku, tak lupa seuntai doa kupanjatkan demi kebahagiaannya. Semoga Allah SWT selalu memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat untukmu, Pak.
[pos_1]

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading