Sukses

Parenting

Menepis Badai Perkawinan

Oleh Sanita Deselia

Setiap kehidupan rumah tangga memiliki kisah tersendiri. Ada sedih, senang, pertengkaran hingga hangatnya pelukan. Sore itu disela-sela kesibukan aktivitas Liza Riani (42), Notaris, Amy Zein (34), penyiar radio dan presenter, Pritta Audya Ramadhanie (25), pekerja kreatif, dan Agung Putri Suniwati (35) atau biasa dikenal dengan Menur Soekarno memutuskan untuk berkumpul di Energy Cafe – The Energy Building Jakarta. Liza, Amy, Pritta, dan Menur bertukar cerita bagaimana mereka melewati badai rumah tangga. Ditemani oleh Anna Surti Ariani (Nina), psikolog perkawinan, dan moderator Asteria Elanda, pemimpin redaksi GH Indonesia.

Saat CINTA Butuh Penopang

Saat terkena panah asmara, manusia terbuai keindahan cinta yang seolah tanpa cela.. kuatnya harapan akan kebahagiaan yang sempurna membuat kesiapan akan datangnya badai tidak cukup kokoh terbangun. Saat sedikit saja mimpi indah terusik, jalan pintas sering diambil: perceraian. Menurut data situs kementrian  agama, angka perceraian di Indonesia pasca reformasi mencapai 200.000 perceraian per tahun. Bahkan 80% perceraian terjadi di usia dini perkawinan di bawah lima tahun. Masa-masa rawan mahligai perkawinan berbeda-beda bagi setiap pasangan.  “Namun umumnya, tahun pertama, tahun ketiga dan tahun ketujuh adalah tahun-tahun di mana badai melanda perkawinan,” ujar Nina.

Bagi Amy, tahun pertama justru berjalan mulus. “Saya pacaran dengan suami saya cuma sebentar. Saat menikah kami langsung tinggal terpisah dari orangtua, jadi tahun pertama adalah masa-masa indah layaknya orang pacaran,” ujar Amy.

“Jika hingga tahun pertama berjalan mulus, bukan berarti aman,” ujar Nina. Hal yang dibenarkan oleh Amy. Di tahun ketiga cobaan itu datang pada Amy dan pasangan. Masalah kesehatan menjadi isu yang perlahan membesar. Saat tekanan datang, sikap saling menyalahkan pun terjadi. Keadaan semakin sulit saat lingkungan terdekat ikut menekan. Terlibatnya lingkungan terdekat dalam perkawinan memang tidak bisa dihindari. Pengaruhnya pun tidak bisa diabaikan.

Seperti yang dialami Menur. “Keluarga besar saya dan keluarga besar pasangan saya sulit nyambung, dan itu berpengaruh pada keharmonisan hubungan saya dan mantan suami,” aku Menur. Meski sempat memperjuangkan perbedaan yang ada termasuk kultur, namun pada akhirnya latar belakang keluarga yang berbeda ternyata memengaruhi keutuhan rumah tangganya yang  pertama.

“Kami memang sempat tidak direstui, tapi saya perjuangkan itu namun ketika menikah ternyata sulit match. Perbedaan membuat krisis percaya diri muncul dan ini besar pengaruhnya,” ungkap Menur.

Uniknya tekanan keluarga besar ini pun bisa muncul dalam sikap ketidakpedulian. “Saya menikah di usia muda, 21 tahun. Saya sudah mandiri secara finansial. Saat hamil pun saya tetap mencari uang. Saya tidak pernah minta pada orang tua. Karena disitu saya tidak mau mempermalukan keluarga suami dan suami di depan keluarga saya, karena saya jugalah yang memperjuangkan dia untuk menikah,” ujar Pritta. Namun suami yang terlalu dimanja oleh keluarganya membuat Pritta sulit sementara di sisi lain sikap tak peduli pun membuat kesal.

“Sikap suami saya dibenarkan saja oleh keluarganya, salah sekalipun. Ketika keadaan semakin rumit dan saya memilih bercerai, mereka tidak mengijinkan. Tapi sebaliknya mereka sama sekali tidak mendukung dan peduli pada saya maupun anak saya,” tutur Pritta.

Masalah yang menjadi sumber pertengkaran bisa beragam. Mulai hal sepele seperti ketidakpedulian akan pembagian tugas rumah tangga, perselingkuhan, KDRT, perekonomian, keluarga besar yang merecoki, sampai persoalan kriminal. Hal tersebut jugalah yang sering jadi pangkal perceraian. Disinilah terlihat jika cinta sebagai pondasi awal rumah tangga butuh penopang berupa kepercayaan, materi, dan empati untuk melewati badai. Mana porsi yang lebih besar tergantung dari nilai yang dianut oleh masing-masing individu. “Bagi seseorang materi mungkin nomor satu, namun bagi yang lain bisa jadi berbeda,” tutur Nina.

Bagi Pritta perilaku itu penting, lebih dari materi. Ia pernah merasa ‘cukup’ dengan pengertian dari suaminya dalam berbagi tugas rumah tangga. Amy tidak sependapat. “Saya agak sulit menerima kalau ada yang bilang materi itu tidak  penting,” kata Amy. Ia lalu bercerita saat membangun bisnis bersama suaminya. “Dia keluar ari kantor advertisingnya. Fokus di bisnis dan sempat gagal. Ternyata tidak seindah bayangan. Awalnya tidak masalah, sama seperti Pritta, saya pikir toh, saya kerja, punya uang. Tapi mendekati setahun saya merasa ada yang salah. Bukan karena uangnya, tetapi karena tanggung jawabnya,” ujar Amy. Untunglah saat itu masalah bisa terselesaikan.

Tanggung jawab pasangan merupakan kebanggaan bagi perempuan. “Perempuan perlu kebanggaan, siapa yang ada disebelahnya,” tutur Liza. Tapi perempuan juga perlu mandiri karena ketergantungan bisa mengundang penindasan. “Ketergantungan itu bisa secara finansial atau karena hal lain misalnya apa-apa harus suaminya. Saya dulu juga demikian. Sampai akhirnya ada yang memberi saran untuk  mulai menguatkan diri sendiri untuk mandiri dalam berbagai hal,” cerita Liza.

It Takes ONE to TANGO

Saat badai datang, emosi menguasai. Hal sepele bisa menyulut pertengkaran. Mengungkit-ungkit persoalan lama bisa membuat masalah melebar. Itu sebabnya Nina menyarankan agar masalahnya dibicarakan sampai tuntas sehingga saat ada masalah baru, masalah lama tidak ikut membebani. Ada yang pernikahannya adem ayem selama bertahun-tahun namun di tahun yang seharusnya sudah stabil misalnya menginjak dua dekade, baru masalah muncul. “Biasanya itu karena akumulasi permasalahan selama bertahun-tahun,” ujar Nina. Tetapi Nina mengingatkan satu kunci penting untuk mempertahankan perkawinan: It takes one to tango. Menurut Nina saat emosi menguasai dua orang yang sebenarnya saling mencintai, hanya diperlukan ‘kewarasan dari satu orang’ (secara bergantian). Jika satu orang saja bersikap ‘waras’ maka perkawinan terselamatkan. “Misalnya ketika suami ditantang cerai, dan dia bilang dengan tegas ‘Saya tidak akan ceraikan kamu’ Di situlah ketegasan mempertahankan cinta dan memperbaiki hubungan sangat menolong,” papar Nina.

Amy mengangguk. “Ada masa di mana saya pikir tidak ada gunanya meneruskan perkawinan, tapi suami saya bilang ‘saya tidak akan menceraikan kamu’, dia bilang pertemuan kami pasti ada maksudnya. Kami bukanlah teman semasa kecil, kami dipertemukan karena jodoh. Saya pun merenungkan pertemuan kami yang memang bagai serendipity, hati saya luluh kembali,” ujar Amy.

Menurut Liza take and give itu harus. “Bagaimana kalau yang ‘waras’ capek? Kesabaran ada batasnya. Setiap hal memerlukan keseimbangan,” ujar Liza yang pernah melewati masa pisah ranjang. Liza mengakui, seringkali perilaku perempuan sendiri yang tanpa disadari memunculkan masalah. “Dari pertengkaran yang  pernah terjadi, mungkin saya terlampau cerewet yang sehingga membuat pasangan kesal. Laki-laki tidak suka disudutkan. Saat suami di posisi yang salah tapi ditekan, dipojokkan, dituntut, ditambah jeritan dan emosi, akhirnya keadaan semakin memburuk,” cerita Liza. Namun saat kesabarannya habis, giliran pasangannya yang melunak. “Kadang butuh kehilangan dulu untuk merasa memiliki,” kata Liza.

Emosi yang melunak, menurut Nina baik untuk membangun kerjasama. “Saat tantangan itu datang, sepertinya it takes two to tango. Padahal, it takes one to tango. Kalau satu saja mau bekerja keras, berarti perkawinan bisa diselamatkan, artinya seluruh keluarga bisa diselamatkan. Sedikit saja mau usaha pasti bisa,” papar Nina.

Sayangnya dalam beberapa kasus, perceraian terpaksa menjadi solusi. Saat Menur kembali bercerai di pernikahan keduanya, ia telah mempertimbangkan banyak hal. “Suami kedua adalah teman lama di sekolah, tetapi tetap saja ada perilaku yang tidak bisa saya terima, dan sulit mengubahnya,” ujar Menur. Keputusan yang sama juga diambil oleh Pritta. “Perpisahan adalah jalan yang terbaik buat saya, dia dan buat anak saya,” kata Pritta.

Anak juga menjadi pertimbangan utama bagi Menur. “Anak saya segalanya buat saya sekarang,” kata Menur. Kebahagiaan dan kelegaan pun jadi tolak ukur. Menur menegaskan dirinya telah mengambil keputusan yang membuat dua belah pihak dalam posisi ‘win-win’. Ia merasa lebih bahagia setelah bercerai.

Nina memaparkan, dalam perkawinan dua orang membawa latar belakang masa lalu yang bisa memengaruhi jalannya perkawinan. “Jangan sampai ada isu-isu masa lalu yang belum selesai. Ibaratnya tong sampah itu belum kosong. Idealnya dikosongkan, atau saling mengkaji isi tong sampah masing-masing. Kira-kira bisa match atau tidak,” papar Nina. Lalu setelah  pasangan saling menerima, belum tentu diterima keluarga masing-masing. Hal itu harus dikomunikasikan.

Nina mengingatkan jika terpaksa bercerai, jangan sampai meninggalkan trauma. Pesannya, jika akan menikah lagi ‘tong sampah’ masa lalu harus dikosongkan. Jika tidak, akan sangat mungkin terus melukai, dan menjadi cikal bakal kegagalan berikutnya.

BAHAGIA adalah Pilihan Kami...

Liza Adriani, Berdamai dengan ego dan memprioritaskan logika membantu untuk melihat lebih jernih bahwa dia masih berharga untuk diberi kesempatan. Tidak ada salahnya untuk memperbaiki hubungan.

Menur Soekarno, Saya bercerai demi anak saya. Karena hubungan kami bisa lebih baik setelah berpisah. Anak juga akan lebih baik tumbuh tanpa melihat perselisihan orangtuanya terus menerus.

Amy Zein, Materi penting tapi tanggung jawab tidak kalah penting. Saat bisnis suami terpuruk, namun dia berusaha dan tetap bertanggung jawab terhadap keluarga, itu membuat saya sangat bangga.

Pritta Audya, Meski ia lelaki terbaik yang  pernah saya kenal, namun berpisah saya anggap lebih baik. Figur dia sebagai teman atau sahabat lebih tepat.

Bertengkar dengan Benar

Pertengkaran bisa menyehatkan hubungan jika dilakukan dengan benar. Karena pertengkaran bisa meluruskan ketidaksepahaman akan suatu hal. Bagaimana cara bertengkar yang benar?

  1. Buatlah kesepakatan cara bertengkar yang enak. Setiap pasangan punya gaya bertengkar masing-masing. Jika Anda tipikal orang yang tidak bisa menahan diri, utarakan pada pasangan agar saat bertengkar diperbolehkan untuk bicara sampai selesai.
  2. Bertengkarlah dengan aturan bukan sekadar meluapkan emosi. Kata ‘terserah’ bukanlah kata yang baik untuk mengakhiri sebuah pertengkaran. Bisa jadi itu tanda pertengkaran belum selesai.
  3. Jika Anda belum puas atau masih mengganjal dengan masalah yang diributkan, katakan terus terang, dan akan dibicarakan lebih lanjut. Kalau tidak ada pembicaraan tentang itu, permasalahan yang sama akan terus terulang kembali.

Diam belum tentu mendengarkan. Sepakati cara saling merespon emosi. Diam tidak selalu tanda setuju, tetapi bisa jadi isyarat ketidakpedulian. Jika saling menimpali lebih baik, mengapa tidak?

Source : Good HouseKeeping Edisi Desember 2012, Halaman 87

(vem/GH/dyn)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading