Sukses

Lifestyle

Begini Jadinya Kalau Pernikahan Dibiayai Ayah yang Pelit

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Pernikahan adalah... ah, terlalu banyak definisinya. Pastinya, tahap paling awal dari pernikahan adalah akad nikah dan resepsi. Keduanya adalah perhelatan akbar yang, menurut semua orang, harus sempurna. Kedua mempelai punya ide sendiri soal konsep acara mereka. Namun, orang tua dari kedua mempelai juga punya ide masing-masing. Mereka ingin melepas lajang dan gadisnya dengan prosesi paling sempurna.

Semua pihak menganggap acara ini penting. Wajar kalau semuanya menjadi keras kepala. Inilah sebab dari sekian banyak rencana pernikahan yang gagal. Dalam perspektif aku dan pasangan, yang paling pantas dituruti adalah penyumbang uang terbesar, dalam hal ini ayah mempelai wanita, ayahku. Demi terwujudnya pernikahan yang tidak sempurna pun tak apa-apa, kami ikuti saja permainan ayah.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Ayah adalah orang yang terbilang sukses. Jabatannya sudah yang tertinggi di profesinya. Sayangnya, kesuksesan dunia kerap membuatnya sombong. Ia selalu merasa menjadi yang paling benar dan suka mengecilkan orang lain. Hal ini membuat pemikirannya tertutup untuk menerima saran orang lain. Ia menjadi ayah yang kuno. Termasuk soal konsep pernikahan.

Dalam perspektifku, undang saja semua orang yang kami kenal. Namun dalam perspektif ayah, jumlah undangan harus dibatasi. Padahal uang yang ia punya tak terbatas. Undangan terbanyak adalah kawannya. Bukan kawanku, bukan kawan pasangan, bukan kawan orang tua mempelai laki-laki. Alasannya karena malu pada kawan-kawannya kalau harus mengundang kawan kami semua, yang ia anggap tak sekaya dirinya dan kawan-kawannya. Pernikahan yang sempurna dalam perspektif ayah adalah pernikahan yang hanya dihadiri orang-orang yang sepadan dengannya. Alhasil, sampai beberapa bulan kemudian kami masih sibuk menjawab pertanyaan, “Kok nggak ngundang-ngundang?”

Pun soal catering dan seragam, maunya yang hemat dan minimalis. Kami terima-terima saja. Sebenarnya aku malu juga pada keluarga besar pasangan. Seharusnya keluarga besar pasangan mendapat seragam. Namun karena ayahku yang bakhil alias pelit, jadilah hanya orang tua mempelai, penerima tamu dan panitia yang mendapat seragam. Beruntung keluarga suami mau menerima keadaan. Atau mereka membicarakan ayah diam-diam, entahlah.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Beruntung aku dan pasangan kompak. Kami dengan sabar menerima perlakuan ayah yang demikian pelit dan kurang menghargai orang lain. Hingga pernikahan itu berjalan lancar mulai akad hingga resepsi.

Usai resepsi, ayah membahas total kado uang pada kami. Satu ucapan yang tak akan pernah kulupa, “Teman ayah ngasihnya besar-besar, jutaan. Ada amplop yang isinya cuma dua ribu, dua puluh ribu, kecil-kecil. Nggak tahu dari siapa.”

Maksudnya amplop uang receh itu berasal dari kawanku, kawan suami, atau kawan orang tua suami. Di situ aku khawatir suamiku tersinggung. Tapi nyatanya tidak. Ia benar-benar baik. Diterimanya ayah apa adanya walaupun sombong dan pelitnya luar biasa.

Akhirnya, walaupun menelan malu yang berlipat-lipat, aku mendapat kehidupan pernikahan yang bahagia. Aku tidak salah pilih suami. Kami diliputi rasa cinta dan kasih sayang yang makin hari makin besar. Kini kami telah dikaruniai seorang putra yang sehat dan menyenangkan. Kesabaran selalu berbuah manis.






(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading