Sukses

Lifestyle

Beda Usia 13 Tahun dan Nikah Tanpa Pacaran, Hanya Maut yang Bisa Memisahkan

Setiap wanita memiliki kisah cintanya masing-masing. Ada yang penuh liku, luka, hingga akhir kisah yang mungkin tak pernah diduga. Seperti kisah Sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini.

***

Iya, sudah 13 tahun saya bersama Bapak.
Kami sudah melewati banyak hal. Bukan hal mudah bagi kami untuk bersama. Terlalu banyak perbedaan yang kami miliki dibandingkan persamaan. Mulai dari selisih umur yang terpaut 13 tahun, perbedaan suku, perbedaan kebiasaan, perbedaan cara berkomunikasi, perbedaan bidang pekerjaan, perbedaan cara menjalani hidup, sampai pola pikir terhadap suatu masalah. Dan yang memperparah adalah kami dulu tidak pakai pacaran sebelum menikah. Kami berkenalan melalui mak comblang teman kami berdua.

Meski kami berada dalam satu perusahaan yang sama, kami saling kenal tapi hanya sejauh tahu. Tidak kenal lebih banyak. Lagipula saat itu saya merupakan karyawan magang yang menggantikan karyawan yang sedang cuti melahirkan. Tapi mungkin sudah menjadi rezeki saya karyawan tersebut lanjut pindah proyek, otomatis saya dilanjutkan sebagai karyawan tetap.

Perusahaan kami yang merupakan konsorsium beberapa perusahaan lintas negara (Indonesia, Jepang, Korea, China, Perancis) akibatnya saking banyaknya karyawan tidak mengenal nama, hanya mengenal wajah. Seringkali kegiatan kantor melibatkan banyak karyawan dari berbagai proyek. Nah, salah satunya beliau itu. Hahaha... senyum simpul selalu jika ingat bagaimana dulu kami berkenalan.

Awalnya cuma sebatas tahu./Copyright pexels.com

Yang saya tau beliau itu adalah manajer proyek kesayangan dari salah satu direktur di kantor pusat kami. Usia yang begitu jauh ditambah dengan predikat beliau yang sudah bergelar haji membuat saya sedikit "alergi" dengan beliau. Saya yang masih remaja kinyis-kinyis (bolehlah ya saya berbangga sedikit), berpenampilan sedikit urakan, rambut pendek, tindikan bertebaran, doyannya pakai celana pendek dan sepatu kets, dan sedikit tomboy (saya hampir tidak punya teman wanita, rata rata pria), setidaknya saya pastikan kriteria saya bukan seperti beliau.

Dari sekian banyak acara kantor yang di mana saya dan beliau menjadi panitia acaranya, acara halal bihalal selepas Idul Fitri 2004 menjadi momen istimewa bagi kami berdua. Saya selalu kebagian menjadi seksi humas dan perlengkapan yang bertugas belanja belanji hadiah door prize mau tidak mau mesti bolak balik ketemu beliau untuk minta tanda tangan karena beliau menjadi ketua panitia.

Entah bagaimana ceritanya salah satu teman saya yang bernama Renee dan Whisnu mengajak makan di restoran berempat selepas belanja door prize. Saya yang awalnya tidak pernah memperhatikan beliau jadi duduk berhadapan muka dan makan. RM. Ayam 168 di Kota Wisata Cibubur jadi saksi pertama kali kami saling melihat. Dan yang saya tahu pasti ada gumam astaghfirullah yang terucap dalam bisik dari bibir beliau. Mungkin saya terlalu tomboy di mata beliau.

Sungguh tak diduga./Copyright pexels.com

Keesokan harinya pas waktu pulang kerja, tiba-tiba ada mobil yang parkir di depan kantor proyek yang saya handle. You know what? Beliau turun dan nungguin saya yang lagi meeting sampai pukul 11 malam untuk persiapan event launching produk. Mana saya tahu ada yang lagi nungguin saya di parkiran, wong nomor HP beliau saja tidak saya simpan. Dengan muka kaget, bingung, karena ada yang jemput jadilah saya duduk manis di dalam mobil. Dan saya baru tahu kalau beliau itu sumpah orangnya pendiam parah. Tidak ada kata-kata yang keluar selama saya diantarkan pulang. Bikin saya mati kutu, kehabisan gaya dan panik luar biasa. Tapi mungkin itu yang jadi membekas di hati saya.

Tiba di suatu saat setelah acara kantor lainnya selesai dan kami berdua makan di belakang panggung, saya melontarkan pertanyaan konyol secara tiba-tiba kepada beliau itu. “Pak, Bapak suka ya sama saya?" Tentu saja saya nanyanya dengan sikap cuek saya dan sambil makan. Belum juga beliau menjawab, saya sudah melanjutkan bertanya dengan kalimat lebih menakutkan. “Kalau iya, saya nggak mau pacaran, saya maunya nikah!” Itu adalah ucapan asal nyeplos dari mulut seorang gadis remaja berumur 19 tahun yang bekerja baru 1 tahun di perusahaan.

Dan jawaban yang saya dengar adalah, “Kamu mau dilamar kapan?” Karena saya pikir bercanda, ya sudah saya jawab dengan kata, “Besok." Sambil ketawa nyengir sambil lalu. Saya pikir bercanda iseng biasa.

Keesokan harinya.
Saya berangkat kerja di akhir pekan seperti biasa. Ada event launching sebuah tempat wisata yang harus saya tangani karena saya di bagian event promosi dari proyek tersebut. Pakai celana kebanggaan (celana pendek), T-Shirt dan tentu saja sepatu kets dan topi lebar lengkap dengan kacamata hitam. Semua kegiatan event berjalan dengan lancar hingga dering HP saya berbunyi dengan tulisan “Rumah Calling." Saya angkat dan langsung terdengar suara teriakan kakak saya di HP, "Neng... ini ada orang datang ke rumah, bawa rombongan 4 mobil, bawa hantaran, plus bawa tanjidor. Ini siapa? Teman kamu? Pacar kamu? Ini yang mana? CEPET PULANG KAMU SEKARANG JUGA!"

Lamaran tiba-tiba./Copyright pexels.com

Tanpa berpikir panjang, saya lalu cari ojek mangkal untuk langsung pulang ke rumah. Dan benar saja, di depan rumah terparkir 4 mobil berderet, ruang tamu rumah penuh dengan orang yang mungkin jumlahnya sekitar 15 s.d 17 orang. Saya dengan tampang kebingungan melihat sosok beliau tersenyum duduk di antara keluarganya. Dan dipastikan muka kakak saya, muka Mami saya juga tampak kebingungan.

Saya tarik tangan beliau untuk keluar dari ruang tamu lalu saya tanya, "Ini apa-apaan Pak?" Dan dia menjawab, "Lho, katanya mau dilamar, ya ini saya lamar sekarang." Saya pucat pasi, duduk lunglai, tak bisa berkata-kata melihat beliau tersenyum dengan muka yang begitu manis. Intinya pada hari itu beliau berhasil membuat gempar satu perumahan, satu keluarga besar dan termasuk juga saya. Ini kejadiannya hari Sabtu di bulan November 2004.

Keluarga beliau pulang tanpa jawaban pasti dari keluarga saya. Karena saya meminta waktu untuk menjawab dalam 30 hari. Lebih tepatnya saat itu saya pusing, bingung, stres. Karena saat itu saya berstatus memiliki teman dekat. Seorang mahasiswa kedokteran yang sudah dekat dengan saya sekitar dua tahunan. Saya harus cepat bertanya dengan teman dekat saya bagaimana sikapnya.

“Kakak, masak ada yang melamar saya hari ini. Menurut Kakak gimana? Kakak ada rencana menikahi saya enggak? Kira-kira Kakak rencananya kapan?” tanpa saya detail menceritakan kehebohan tadi siang padanya.

Mungkin bagi dia pertanyaan saya tidaklah serius. Dia hanya menjawab, “Aneh ah. Kamu sih Dek kebanyakan fans. Saya masih kuliah, masih lama lah. Saya harus koas dulu, setidaknya praktek dulu sebagai dokter umum sekitar setahun, baru saya bisa mulai merencanakan kapan mau menikah. Mungkin sekitar 5 sampai 7 tahun lagi ke depan. Kamu nih, ada-ada aja nanyanya."

Selama 20 hari setiap malam saya sholat tahajud dan istikharah untuk meminta jawaban dari Allah SWT, dan selama 20 hari itu pula saya bolak balik bertanya sama teman dekat saya itu. Dan tentu saja dia menjawab dengan jawaban sama tidak berubah. Dan lucunya saya pun jujur cerita kepada Bapak yang melamar saya itu. Bapak tidak marah, Bapak juga tidak mendekati saya. Malah yang saya tahu beliau justru pergi umroh.

Menentukan pilihan./Copyright pexels.com

Hingga suatu malam saya diberikan petunjuk bahwa saya harus segera menentukan pilihan. Tidak menggantung kedua belah pihak.  Mungkin itu yang dinamakan jodoh. Tanpa aral melintang, akhirnya saya menikah dengan Bapak tanggal 24 Januari 2005. Dengan waktu cukup 2,5 bulan dari masa perkenalan saya dulu. Bukan pesta nikah besar-besaran maupun mewah. Saya justru meminta acara pernikahan yang sederhana. Hanya mengundang rekan-rekan kantor dan kenalan. Bahkan kami menikah di hari Senin. Karena yang penting buat saya adalah bagaimana kehidupan saya nanti setelah pernikahan.

Dan bukan hal mudah buat saya yang seorang remaja untuk masuk dunia pernikahan. Dengan selisih umur 13 tahun, butuh waktu bertahun-tahun lamanya bahkan mungkin sampai dengan sekarang untuk saling menyesuaikan diri. Semua hal begitu bertolak belakang.

Saya suka nonton film, Bapak justru tertidur nyenyak dalam bioskop. Saya yang begitu berantakan sedangkan Bapak begitu teratur dalam berbagai hal. Saya yang begitu terbuka dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, Bapak justru diam jika sedang ada masalah. Tapi satu hal yang saya sangat syukuri adalah dengan Bapak saya bisa berubah banyak. Lebih tepatnya saya menjadi wanita. Saya berambut panjang, jadi suka dandan, bisa beres-beres rumah dan saya bisa memasak. Bisa belajar menahan amarah dan juga bisa belajar menjadi seorang Ibu.

13 tahun pernikahan dengan dikaruniai 2 orang anak berumur 12 tahun dan 10 tahun. Saya juga bisa menyelesaikan studi S2 saya lebih cepat. Semua dengan dukungan dari Bapak. Saya yang begitu haus kasih sayang seorang ayah mendapatkannya dari Bapak. Almarhum Papi saya meninggal saat saya SMP.

Sudah 13 tahun bersama./Copyright pexels.com

Tidak ada karunia Tuhan yang tidak saya syukuri. Semua begitu baik. Bahkan sampai dengan saat ini saya belum pernah mendengar Bapak membentak atau memarahi saya meski saya berkali kali teledor dalam banyak hal. Dan justru akhirnya saya seperti mengabdikan hidup saya buat Bapak yang begitu sabar dan telaten menghadapi gejolak saya yang gampang emosian.

Bapak tidak pernah sekalipun melarang saya melakukan semua hal yang saya senangi. Bapak bukanlah sosok yang romantis. Bahkan cenderung datar. Bapak yang tidak suka hewan berbulu bahkan sekarang bisa bermain dengan 4 ekor kucing peliharaan saya. Pernah saya merengek seperti anak kecil cuma karena Bapak sama sekali tidak pernah ingat tanggal pernikahan kami. Bapak juga tidak pernah ingat kapan saya berulang tahun. Dan saya tidak pernah mendapat bunga dari Bapak seperti pasangan lainnya. Tapi, semua itu akhirnya tidak menjadi hal utama bagi saya. Dan tidak lagi menjadi cinta yang biasa menurut saya. Bisa melihat Bapak duduk di sofa ruang keluarga sambil menonton televisi dan meminum kopi yang saya buatkan, anehnya sudah membuat saya merasa tenang dan bahagia.

Anak perempuan saya yang besar suatu saat pernah bertanya kepada Bapak, “Ayah, kok bisa nikah sama Bunda?"
Bapak menjawab, "Dulu Ayah minta Bunda sama Allah SWT."

Kupikir kalimat itu tidak ada artinya, tapi ternyata setelah kurunut-runut saat saya dulu jungkir balik sholat tahajud dan istikharah di antara kebimbangan menerima atau tidak lamarannya, ternyata Bapak pergi umroh ke tanah suci Mekah dan meminta saya untuk menjadi istrinya di depan Ka’bah. Pantas saja saya yang tadinya tidak begitu ada hati dengan Bapak bisa berubah memperhatikan keberadaan Bapak. Wong, mintanya sama yang menciptakan saya.

Hanya maut yang bisa memisahkan./Copyright pexels.com

Cinta yang luar biasa menurut saya adalah cinta yang berawal dari cinta yang biasa dan terbiasa. Seperti pepatah Jawa. Itu yang saya dapatkan dari Bapak. Tidak ada perbedaan yang tidak bisa disatukan kecuali kematian yang memisahkan.

Mungkin Tuhan mendengar keinginan saya itu. Tepat dua tahun lalu, ketika saya yang sering mengeluh tentang migrain, vertigo disertai mimisan akhirnya mendapat kejelasan dari dokter mendiagnosa bahwa saya terindikasi sakit kanker otak. Saya memilih diam dan tidak menceritakannya ke Bapak. Saya begitu takut Bapak sedih. Saya selalu berobat diam-diam, bolak balik masuk UGD tanpa saya jelaskan ke Bapak saya sakit apa. Saya selalu bilang mungkin saya kecapekan di tengah kesibukan saya. Apapun itu Bapak selalu percaya apa yang saya katakan.  

Semoga Tuhan memberikan kesempatan waktu lebih banyak untuk saya bersama Bapak. Setidaknya semoga sampai saya bisa melihat anak-anak tumbuh dewasa dan berharap bisa menua bersama Bapak.

Kisah cinta ini yang saya dapat dan saya rasakan.
Sebuah cinta yang begitu sempurna  untuk saya yang tidak sempurna BUKAN CINTA BIASA.

Jakarta, 24 Januari 2005 - 2018




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading