Sukses

Beauty

7 Dokter Yang Rela Hidup Miskin Demi Menolong Pasien

Seringkali mendengar cerita tentang mal praktek yang dilakukan para dokter memang membuat banyak orang merasa miris. Tetapi, jangan sampai cerita-cerita horor tersebut justru membuat Anda merasa takut berobat ke dokter.

Pemikiran positif harus tetap ditanamkan di masing-masing benak pasien, karena tidak semua dokter melakukan malpraktek. Bahkan, sebagian besar telah membantu banyak orang untuk sembuh dan hidup sehat.

Seperti beberapa dokter ini misalnya. Diberi kemampuan untuk membantu menyembuhkan orang, tak lantas membuat para dokter ini sombong dan semena-mena. Mereka bahkan merelakan gaya hidup mewah, rela hidup miskin demi menyelamatkan pasien. Mereka tidak mengejar uang untuk mengembalikan biaya yang mereka keluarkan saat bersekolah ilmu kedokteran. Mereka juga tidak mengejar mengembalikan modal atas alat-alat kedokteran atau obat-obatan yang telah mereka beli.

Dan harapan dunia akan semakin cerah bila banyak dokter berhati mulia juga melakukan hal yang sama seperti ketujuh dokter ini...

(vem/bee)

Dr. Jill Seaman dari Sudan

Sungai Nil bagian barat adalah salah satu daerah paling terpencil di dunia. Tidak ada jalan, infrastruktur yang sangat buruk, tidak ada pasar, tidak ada transportasi, tidak ada sistem pendidikan maupun kesehatan. Alhasil, populasi manusia di sana tumbuh dengan sangat terisolasi.

Suatu waktu, daerah yang termasuk dalam wilayah Sudan ini mengalami wabah penyakit, dan tentu saja nyaris semua penduduknya di sana meninggal karena tak mendapatkan bantuan yang layak. Pemerintah sendiri tampaknya tidak tertarik membantu para korban di sana, karena menganggap bahwa masih ada yang lebih penting lagi.

Pada tahun 1997, ketika perang di Sudan pecah, dr, Hill Seamen yang tergabung dalam kelompok Hero of Medicine dikirim oleh MSF (Medicins Sans Frontiers) dari Belanda, nekat pergi menyusuri daerah Sudan. Ia mendirikan operasi medis di Desa Leer yang untuk ke mana-mana harus berjalan kaki.

Suatu hari, ia tiba di daerah Duar, di mana banyak penduduk meninggal, sapi berkeliaran tanpa pengawasan, dan banyak orang sakit yang begitu kurus, nyaris tak bisa berdiri.

Epidami yang kala itu menjangkiti desa Duar adalah Visceral leishmaniasis, penyakit yang juga pernah menghancurkan penduduk India Timur di abad 19. Dr. Seamen, dibantu dengan beberapa rekannya bekerja tanpa lelah selama 7 tahun lamanya. Mereka telah menyelamatkan jiwa 19 ribu pasien, dan secara pribadi merawat 10 ribu penderita penyakit kala azar.

Dua tahun setelah tim MSF ditarik keluar, Dr Seaman tidak ikut pulang. Ia bersama seorang perawat Belanda bernama Sjoujke de Wit tinggal di sana dengan biaya pribadi untuk membantu masyarakat Sudan yang masih membutuhkan pertolongan medis.

Dr Georges Bwelle dari Kamerun

Pada 1980an, rumah sakit di Kamerun dipenuhi dengan pasien yang sakit dan kekurangan. Di sana tidak ada perlengkapan medis yang memadai, tidak ada ahli bedah syaraf, tidak ada dokter spesialis yang bisa membantu menyembuhkan penyakit pasien dengan efektif.

Pasien yang sakit harus datang sedini mungkin, mulai jam lima pagi untuk menunggu diperiksa dokter selama berjam-jam lamanya. Bahkan, tak jarang pasien di sana meninggal saat menunggu diperiksa dokter.

Angka pasien dan dokter cukup tidak seimbang. Satu dokter bisa menangani 5 ribu pasien, dan angka tersebut tidak mencukupi jumlah dokter yang ada di sana.

Akhirnya, dengan bantuan relawan, Dr. Bwelle memulai penyelamatan di sana. Ia mendirikan sebuah organisasi nirlaba, di mana setiap hari Jumat obat-obatan dan bantuan akan dikirimkan ke desa-desa. Mereka kemudian berkeliling menuju desa-desa terpencil untuk memberikan bantuan medis. Di setiap perjalanan, mereka menerima sekitar 500 orang pasien.

Beberapa desa di antaranya tak dapat ditempuh dengan mobil, sehingga mereka harus berjalan sekitar 60 kilometer jaraknya.

Pasien di Kamerun menderita aneka penyakit, di antaranya adalah Malaria, kekurangan gizi, diabetes, TBC, infeksi menular seksual, dan penyakit parasit.

Dr. Bwelle dan relawannya melakukan operasi kecil di malam hari dan umumnya selesai di keesokan paginya. Ia bahkan mengusahakan operasi gratis dan menjalankan klinik gratis bagi pasien yang membutuhkan. Uniknya, semua biaya yang ia tanggung diperolehnya melalui sumbangan pribadi, dan usahanya sendiri, tanpa bantuan dari pemerintah.

Dr. Denis Mukwege dari Kongo

Selama 14 tahun, Dr. Denis Mukwege merawat pasien dengan sumber daya seadanya di tengah peperangan. Rumah sakit Dr. Mukwege digerebek dan dihancurkan bersama pasien-pasien yang ada di dalamnya, dua kali. Dan bahkan kedua kalinya mereka harus melarikan diri agar tidak sampai tewas terbunuh.

Dr. Mukwege menerima korban perkosaan dengan luka peluru di alat kelamin dan paha, dan tiga bulan kemudian 45 wanita datang dengan cerita yang sama. Sampai hari ini, Dr. Mukwege telah membantu sekitar 30 ribu wanita yang mengalami kekerasan seksual selama peperangan di Kongo. Ia menggunakan pendekatan psikologis, perawatan bedah, dukungan sosial dan ekonomi, serta hukum.

25 Oktober 2012, ada serangan yang nyaris merenggut nyawa Dr. Mukwege, kemudian ia dan keluarganya melarikan diri ke Eropa. Kurang dari setahun, Dr. Mukwege terinspirasi untuk melanjutkan pertarungannya lagi. Ia berusaha menolong para wanita Kongo dan membebaskan mereka dari segala kepentingan peperangan.

Dr. Tom Catena dari Sudan

Dr. Tom Catena adalah seorang dokter misionaris Amerika yang kemudian tinggal dan bekerja di pegunungan Nuba, Sudan sejak 2008. Ketika serangan dimulai, pada Juni 2011, Dr Tom memutuskan untuk tetap tinggal. Namun keadaan sangat memburuk di sana, karena serangan terhadap militan menjadi serangan habis-habisan terhadap penduduk Nuba. Kala itu, warga sipil secara massal dieksekusi dan dikuburkan massal.

Dr. Tom adalah satu-satunya ahli bedah yang memenuhi syarat untuk melakukan operasi di Nuba. Dan setiap hari ia melakukan operasi terhadap ratusan pasien.

Ia pernah menghadapi pasien terburuk dengan kondisi tubuh luka parah akibat bom. Dr. Tom khawatir bahwa pegunungan Nuba akan menjadi Darfur kedua jika serangan udara dan pembantaian terus dilakukan.

Peperangan tersebut membawa kelaparan, penyakit, serta kondisi yang semakin buruk. Bahkan mirisnya, pemerintah Sudan menolak bantuan dari organisasi kemanusiaan ke negara itu.

Dr. Gino Strada, dari Sudan, Afghanistan sampai Irak

Rumah sakit Salam Centre di Sudan adalah seperti harapan satu-satunya bagi korban peperangan di Sudan. Menawarkan berbagai pertolongan medis seperti operasi jantung tingkat pertama secara gratis pada pasien.

Dr. Gino Strada, adalah tokoh yang mengusulkan semua kemudahan medis ini di tahun 1994 silam. Ia adalah seorang dokter bedah jantung dan paru-paru, seorang spesialis transplantasi yang mengabdikan hidupnya untuk tinggal di beberapa tempat terburuk di dunia seperti Afghanistan, Irak dan Sudan.

Selama 19 tahun, ia telah merawat lebih dari 5 juta orang dan secara pribadi melakukan 30 ribu operasi. Dr. Strada membangun RS Salam Centre di tengah gurun dan bernegosiasi dengan Taliban, bahkan meyakinkan Taliban bahwa rumah sakit tersebut akan memberikan pelayanan baik bagi mereka..

Kebanyakan dokter akan berpikir pergi memancing dan bersantai sepanjang pensiun. Namun, Dr. Gino Strada akan mengabdikan dirinya selamanya di ruang operasi. Di Afghanistan saja ia menjalankan 4 rumah sakit dan 34 klinik yang membantu korban peperangan. Semua dilakukannya secara mandiri, tanpa bantuan NATO.

 

Dr. Robert Paeglow, dari Amerika Serikat

Bagi sebagian orang, Dr Robert Paeglow, atau disebut juga dengan nama Dr. Bob adalah Dr yang berhati malaikat. Di usia 36 tahun dengan istri dan empat orang anak, ia memutuskan melanjutkan pendidikan di sekolah kedokteran. Setelah lulus 1994 silam, ia bekerja dalam praktek keluarga dan menghabiskan misi perjalanannya ke Afrika.

Di sana rupanya ia belajar banyak dan pada akhirnya membuka klinik di bagian daerah termiskin di Albany, New York. Di sana, sebagian besar dokter bahkan enggan membuka pintu mobil mereka. Namun Dr. Bob memiliki visi berbeda, di mana ia membuka sebuah pusat untuk pasien yang tidak mampu.

Dr. Bob memperlakukan pasiennya berbeda, berdoa bersama mereka, memberikan bantuan obat, dan tidak memungut sepeserpun bayaran atas apa yang dilakukannya. Dr. Bob mengandalkan gaji pribadi dan sumbangan dari sukarelawan untuk terus membantu para pasien dengan memberikan pengobatan gratis. Dan hal ini akan tetap terus dilakukannya.

Dr. Sergio Castro, dari Meksiko

Sergo Castro adalah dokter, sekaligus imam. Berusia 72 tahun tak membuat dirinya berhenti bekerja. Ia mengisi waktunya dengan memberikan perawatan kesehatan di negara bagian Meksiko yang disebut Chiapas.

Sergio kerap kali berkeliling kota untuk sekedar membersihkan dan membalut luka yang infeksi. Ia tidak mau menerima uang dari pasien-pasiennya. Ia percaya bahwa pasiennya akan lebih termotivasi untuk sembuh bila tidak khawatir akan uang.

Ia akan mengumpulkan cukup sumbangan, kemudian pergi lagi ke desa-desa demi membangun sekolah-sekolah, memberikan air, serta melakukan proyek-proyek yang sifatnya memberikan bantuan personal. Misalnya saja, ia pernah membangunkan sebuah toko kecil untuk pasien yang lumpuh.

Baginya, hidup dengan memberi adalah sebuah kekayaan yang tak ada habisnya.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading