Sukses

Lifestyle

Amarah Penistaan, Penyebab Luluh Lantaknya Harga Diri Drupadi

Luka, dimanapun terjadinya pasti akan terasa sakit. Menurut ilmu medis, otak dan tubuh manusia hanya mampu merespon dan merasakan 12 titik luka atau 12 bagian tubuh yang sakit secara bersamaan. Selebihnya, titik atau bagian luka dan sakit yang lain akan diabaikan. Tentu saja titik terasa sungguh menyiksa adalah bagian yang paling menyakitkan.

Bagaimana jika luka dan sakit yang diderita adalah luka dan sakit yang terasa di hati? Sakit hati atau luka batin yang dialami dan diderita manusia konon tak terperikan rasanya. Memunculkan kesedihan yang mendalam atau trauma yang berkepanjangan yang tak tersembuhkan. Dampaknya bisa mengubah cara berpikir, bertingkah laku bahkan dalam kasus–kasus tertentu bisa mengubah kepribadian seseorang. Tak heran jika ada anekdot yang populer dan diamini oleh masyarakat Indonesia, yakni; ‘Daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi ini’.

Seseorang yang terluka hatinya bisa saja meluapkannya dalam kata – kata atau tindakan pelampiasan kepada seseorang yang melukainya. Tak jarang pada beberapa kasus bahkan melampiaskan pada apapun dan siapapun yang ditemuinya. Luka hati bisa menimbulkan emosi, amarah dan amukan murka yang tak terkendali hingga mengakibatkan malapetaka dan kehancuran yang besar bagi pelakunya.

Sebuah kisah tentang sakit hati yang dipilih dalam tulisan ini adalah sakit hatinya Sang Drupadi. Istri lima Pandawa yang dilecehkan oleh Dursasana, anggota Wangsa Kurawa yang mencoba menelanjanginya di Balairung Kerajaan Hastinapura. Drupadi dijadikan taruhan oleh Yudhistira yang kalap karena kekalahan beruntun dalam permainan dadu dengan para Kurawa. Drupadi yang cantik, dipermainkan lalu dijadikan obyek penghinaan oleh para Kurawa, pemenang taruhannya. Apa yang terjadi? Para Dewata dikisahkan masih berbelas kasihan melindungi Sang Drupadi. Dengan gaib, para Dewata memanjangkan kain yang dipakainya. Dursasana tak habis pikir dan hampir - hampir habis tenaganya saat mencoba menarik kain Drupadi untuk menelanjanginya. Dengan pertolongan para tetua yang akhirnya menghentikan upaya Dursasana itu, Drupadi terhindar dari penistaan ini. Drupadi dalam hancur hati dan luluh lantak harga dirinya, lalu bersumpah:

“Aku tak akan sekali–kali menggulung dan mengikat rambutku, sebelum kubasuh dan kukeramasi dengan darah si Dursasana.”


Sumpah yang legendaris karena konon ditandai dengan kilat dan petir yang menyambar dan menimbulkan kegemparan. Hingga di hari – hari terakhir Perang Besar Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa, sumpah Drupadi terlaksana saat Dursasana tewas di tangan Bima. Ia lalu membawakan semangkuk darah Dursasana kepada Sang Drupadi untuk membasuh dan mencuci rambut panjangnya.

Penistaan, pelecehan, penghinaan, apapun bentuknya, apalagi terhadap seorang wanita adalah tindakan yang keji dan tidak manusiawi. Apalagi jika tindakan itu diwujudkan dalam kekerasan dalam pemerkosaan yang akan menimbulkan luka hati dan trauma yang mendalam. Korbannya merasa kehilangan harga diri, merasa menjadi mayat hidup tak berjiwa tanpa tujuan dalam kehidupannya lagi. Bahkan tak jarang, mereka mengakhiri hidupnya karena tak mampu lagi menanggung luka hati dan beban batin yang sedemikian beratnya. Bagi yang mampu melanjutkan hidupnya paska malapetaka ini akan hidup dalam trauma yang menjadikannya manusia baru. Manusia yang penuh dengan ketakutan sekaligus kemarahan yang menyekam terpendam, kegetiran dan kepahitan yang terasakan sepanjang hidup dalam luka hati yang tak terobati.

Jangankan tindakan pemerkosaan, pelecehan dengan kata-kata yang menghina saja sudah cukup membuat seseorang menangis darah dalam luka yang menganga di hatinya. Jangan kaget jika kemudian mereka akan bersumpah bak Sang Drupadi terhadap Dursasana. Jangan heran jika sumpah mereka bisa saja terjadi, karena mereka bersumpah dengan segenap hati terlukanya sebagai pihak yang teraniaya.

Pesan jelas dalam Kisah Drupadi ini sebenarnya ditujukan untuk semua orang, bahwa penistaan, penghinaan dan pelecehan terhadap apapun juga, memiliki resiko dan pertanggungjawaban besar bagi pelakunya. Melalui kata – kata, apalagi dengan perbuatan dan tindakan keji, penistaan serta pelecehan tak akan memberikan kebaikan kepada siapapun juga.

“Celakalah bagi para pengumpat dan pencela.”


Mengumpat dan mencela saja ancamannya celaka, apalagi diiringi dengan kata – kata menghina, tindakan melecehkan yang menistakan kepada siapapun dan apapun juga. Semoga menjadi pelajaran yang baik untuk kita semua tentang bagaimana harusnya kehidupan ini dijalankan sebaik-baiknya.

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/

(vem/wnd)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading