Sukses

Parenting

Untukku, Anakmu, Mengapa Ayah-Ibu Menyerah?

Seorang anak laki - laki berusia 10 tahun berdiri dengan ransel berisi pakaiannya, berkata kepada laki - laki dewasa yang tegap berdiri beberapa meter di hadapannya, "Yang aku inginkan sebenarnya, perjuangkan aku, sekali saja."

Matanya berkaca - kaca, lalu perlahan membalikkan badan melangkah gontai menuju mobil mewah yang diparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri. Sepasang suami istri telah menggenggam surat adopsi-nya, tak sabar menunggu. Termangu - mangu, laki - laki tegap itu berdiri terdiam mendengar kalimat anak kecil yang tak dia duga telah mampu 'menelanjanginya'. Si anak kecil, darah dagingnya yang telah dia berikan kepada orang lain yang 'bersedia' menjadi orang tua angkat si anak kecil.

Kejadian ini adalah sepenggal adegan dalam sebuah film buatan Amerika tentang pertemuan ayah dan anak setelah bertahun - tahun berpisah karena perceraian ayah dengan ibunya. Pertemuan yang menjadi meski harus canggung dijalani namun terpaksa dilakukan. Ibu dari anak kecil itu telah meninggal dunia. Sebagai satu - satunya orang tua yang masih hidup, si laki - laki harus bertanggungjawab menentukan kelanjutan nasib anaknya.

Alih -alih senang dan menerima kembalinya anak laki - lakinya, justru si laki memutuskan memberikan si anak laki - laki kepada keluarga kaya yang mau mengadopsi dengan sebentuk mahar puluhan juta. Fiktif? Iya. Namun bukan satu atau dua kisah nyata yang mirip atau bahkan serupa. Anak - anak berubah dari precious treasure menjadi komoditi. Anak - anak menjadi beban tambahan kehidupan bukannya tujuan yang harus diperjuangkan. Tak jauh berbeda dengan nasib Engeline, gadis cilik yang harus meregang nyawa di tangan ibu tirinya.

Mungkin sang ayah merasa apa yang dilakukannya adalah 'yang terbaik' untuk semua. Mungkin ada harapan satir bahwa ayah angkat dan ibu angkat anak kandungnya akan menjadi orang tua pengganti yang lebih baik dari dirinya. Bisa jadi ia terinspirasi dari kisah Musa yang dihanyutkan oleh orang tuanya sendiri di Sungai Nil dan akhirnya ditemukan dan dirawat oleh permaisuri raja. Namun ternyata dia tak pernah bertanya sebelumnya, apa keinginan anak laki - lakinya yang sebenarnya.

Begitu teraduk-aduknya perasaan sang anak hingga ia melontarkan kata-kata 'menghujat' hak individunya sebagai seorang anak, kepada sang ayah. Ia menuntut kewajiban orang tua yang semestinya dijalankan dengan segala daya dan upaya. Bukan sekedar perhitungan dan pertimbangan penuh kemungkinan yang menuntun orang tuanya untuk justru lepas dari tanggung jawab dan amanah yang diberikanNya.

Kisah - kisah seperti ini akan terus terjadi di dunia nyata. Bahkan dalam versi yang lebih membuat gusar, heran dan geleng - geleng kepala karena tidak masuk dalam akal pikiran 'wajar' manusia lainnya. Bayi dibuang, bayi dibunuh, anak ditelantarkan, diberikan begitu saja kepada panti asuhan atau malah anak diperjualbelikan. Potret sebuah kenyataan dalam kehidupan yang lebih menyandarkan pada logika berpikir, bukan pada keyakinan bahwa Tuhan akan 'menjamin' setiap anak - anak yang terlahir sebagai titipanNYA.

Masih terngiang seorang ibu muda yang menyesalkan kenapa anak - anaknya terlahir dari rahimnya dan bukan dari rahim orang kaya. Hanya karena kehidupan rumah tangga dan keluarganya tidak seperti yang dibayangkan semasa dia remaja. Lalu anak - anaknya diikhlaskan, diberikan untuk terbang lepas menjemput sendiri impian yang selama ini diidam - idamkan. Ya, hidup memang penuh dengan pilihan, dan setiap orang berhak memilih jalan. Namun seringkali hidup tak menyisakan kesempatan kepada anak - anak untuk memilih sendiri apa yang diinginkan. Hanya bisa menghujat melalui sikap, tatap mata mengharap dan sepenggal kalimat tak terucap, "... untukku, anakmu, kenapa engkau menyerah?"

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/

(vem/wnd)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading