Sukses

Parenting

Getirnya Ploncoan, Potret Eksploitasi Manusia Di Dunia Pendidikan

“Tidak ada lagi per’plonco’an!” demikian keputusan tegas Mas Menteri Anies Rasyid Baswedan, di awal – awal ditunjuknya beliau sebagai Menteri Pendidikan RI hingga sekarang ini. Saya sebut mas, karena kami setidaknya pernah satu organisasi di masa – masa mahasiswa di salah satu Universitas negeri tertua di Indonesia. Walau beda agak jauh dari sisi usia dan senioritas jabatan di keorganisasian, namun sosoknya memang sudah ‘extra ordinary’ sejak masa mudanya.

Apa sih ‘plonco’? Apa pula per’plonco’an yang dimaksud? Mungkin generasi 90-an dan selanjutnya lebih mengenalnya dengan istilah OPSPEK, MOS atau istilah – istilah mandiri lainnya. Namun di jaman – jaman sebelumnya, siapapun, kapanpun dan dimanapun, bagi siswa – siswa baru yang memasuki sekolah barunya, maka ‘plonco’lah yang menyambut mereka pertama kali di hari pertama. Tradisi dan ritual tahunan yang sudah mengakar kuat dan diwariskan dari generasi ke generasi, hingga suka dan duka per’plonco’an, trauma sekaligus nostalgianya menjadi kenangan yang tidak mudah untuk dilupakan.

Saat kakak – kakak kelas atau para senior dibebaskan untuk memperlakukan para murid baru, adik – adik kelas juniornya, semaunya sendiri. ‘Permalukan saja mereka, perbudak dan jadikan mereka patuh menghamba, gembleng habis fisik mereka sembari jatuhkan mentalnya, buat mereka menangis dan berteriak ampun jika perlu' adalah tujuan dari per’plonco’an. Semakin kepayahan dan tak berdaya ‘para korbannya’, semakin sukses tujuan per’plonco’an. Sehingga setiap tahun per’plonco’an kembali dilakukan dan para seniorpun leluasa kembali berulah. Karena setiap siswa yang kemudian juga menjadi seorang senior, ingin juga merasakan nikmatnya kesuksesan memperikan ‘pelajaran’ kepada siswa – siswa baru para juniornya. Sebuah ritual dan tradisi yang diturunkan dengan dibarengi modifikasi ‘kreatif’ yang bertujuan sama, yakni belajar mengeksploitasi manusia.

(vem/wnd)

Perploncoan Sama Dengan Mengeksploitasi Manusia

Tahun ajaran baru sudah di depan pintu dan akan segera dimulai. Jauh – jauh hari Menteri Pendidikan telah mewanti – wanti bahwa ‘plonco’ atau kegiatan sejenis dengan nama samaran lainnya, tidak diperkenankan untuk dilaksanakan di sekolah – sekolah dan kampus – kampus. Alih – alih memberikan kesempatan kepada para senior untuk ‘belajar mengeksploitasi manusia’, dianjurkan kepada sekolah dan guru untuk menggantikannya dengan memberikan kegiatan bagi para siswa baru untuk berkesempatan mengeksplorasi dan mengenal sekolah barunya berikut mengenal sistem dan cara belajar di sekolah serta aktivitas lain yang lebih bermanfaat. Dan itu harus menjadi tanggung jawab sekolah dan guru, bukan lagi hak prerogatif para senior, kakak – kakak kelasnya.

Sekolah adalah rumah kedua bagi anak – anak kita. Madrasah tempat menyadap ilmu dan menambang benih – benih kebaikan untuk nantinya dilebur menjadi satu dengan nilai – nilai kekeluargaan, budi pekerti serta kesopanan yang didapatkan di rumah dan di lingkungan masyarakat. Sehingga setiap anak akan menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang memiliki penalaran tinggi namun juga bernurani. Yang berilmu dan berwawasan tapi tetap berbudi pekerti, beretika dan berkesopanan. Karena ilmu tanpa budi pekerti akan lumpuh, dan nurani tanpa penalaran akan membuta. Sekolah sebagai salah satu wahana terpenting dalam rangkaian proses pendidikan manusia dalam hidupnya yang wajib menjamin tujuan pendidikan ini tercapai. Keluarga dan lingkungan masyarakat adalah wahana – wahana selanjutnya.

‘Plonco’ dalam pelaksanaannya, berkebalikan dengan pemahaman di atas. ‘Plonco’ dalam kenyataannya mengajarkan semua aspek negatif dari hubungan antar manusia, yang ironisnya harus terjadi di awal – awal para siswa menjejakkan kaki di sekolah barunya.

Torehan Getir Akibat Perploncoan

Secara pribadi, saya baru menyadari dampak buruk dari sebuah per’plonco’an setelah beberapa waktu berselang berkesempatan untuk berkomunikasi lagi dengan salah satu mantan junior saya. Dalam sebuah reuni, hal yang paling diingat olehnya adalah bahwa saya adalah senior yang galak, tinggi hati dan salah satu dari sedikit yang bisa membuatnya menangis untuk sesuatu sebab yang sepele dan bahkan tak ada nilainya. Kesan yang didapat dan masih diyakininya hingga kini, setelah per’plonco’an yang didapatkannya puluhan tahun lalu dengan saya sebagai salah satu aktor pelakunya. Banggakah saya? Mungkin di kala itu, iya. Namun kebanggqaan karena berhasil membuat dia menangis di kala itu, sudah hilang 1 atau 2 jam setelah kejadian dan kemudian terlupakan. Namun bagi dia, obyek ‘plonco’nya? Trauma itu membekas hingga puluhan tahun lamanya, dicatat dalam hati dan sulit hilangnya.

Hal ini menyadarkan saya sekaligus memunculkan rasa malu, penyesalan serta rasa bersalah. Karena bukan tak mungkin, ada korban – korban ‘plonco’ lain yang juga merasakan hal yang sama serta masih menyimpan traumanya hingga kini terhadap saya. Bahkan mungkin dendam. Untuk itu saya wajib meminta maaf, sembari mencoba memaafkan perlakuan sejenis yang pernah saya terima dalam berbagai per’ploncoa’an terhadap saya di masa lalu. Karena kesalahan terhadap sesama manusia, sesederhana atau sekecil apapun, hanya bisa diselesaikan antar manusia selama masih hidup di dunia. Tuhan, nantinya hanya akan menggelar persidanganNya saja di ‘sana’.

Memanusiakan Manusia

Kesimpulannya, sungguh mudah untuk membuat orang lain terluka, semudah membuat orang lain gembira dalam suka cita. Sama – sama hanya membutuhkan sebuah ucapan atau satu tindakan sederhana yang dampak dan pengaruhnya sangat jauh berbeda. Sebelum terlambat, marilah kita dukung program Mas Menteri Pendidikan untuk mengembalikan dan menjaga fungsi sekolah sebagai salah satu tempat untuk mengasah lidah anak – anak kita untuk terbiasa berucap; ‘permisi’, ‘terima kasih’ dan ‘maaf’. Bukan tempat untuk belajar kalimat yang bisa menorehkan luka, meninggalkan trauma kepada sesama. Mari dukung beliau dan para guru di seluruh Indonesia untuk menegakkan lagi dunia pendidikan Indonesia yang bertujuan memanusiakan manusia. Bukan untuk memberi pemahaman tentan klasifikasi manusia yang sebatas sebagai subyek pelaku di satu saat, lalu menjadi obyek penderita di saat lainnya.

[startpuisi]Dunia pendidikan yang “Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani”

Dan bukan yang “Ing ngarsa sung CILAKA, ing madya HANGISRUHI, tut wuri HANJEGALI”[endpuisi]

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom
Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading