Sukses

Parenting

Kubaca Surat-Surat Almarhum Ayah dan Air Mataku Berlinang

Kematian terkadang terjadi dengan cara yang begitu mengejutkan. Bahkan banyak orang yang tak pernah menyangka atau berharap kematian datang lebih cepat dari yang diduganya. Bisa jadi sebenarnya kita tak pernah bisa benar-benar siap menghadapi kematian itu. Namun, jika takdir sudah digariskan, maka kita tak bisa berbuat banyak.

Ladies, berikut ini adalah kisah yang diadaptasi dari tulisan Rafael Zoehler berjudul "When I'm Gone" yang dipublikasikan di lifehack.org. Kisah ini menceritakan seorang putra yang membaca surat-surat yang ditulis langsung oleh mendiang ayahnya. Ada banyak pelajaran hidup yang bisa kita dapat. Tak hanya tentang kematian, tetapi juga bagaimana cara kita bisa memberi nyawa pada kehidupan kita. Dan setiap surat yang dibaca oleh putranya benar-benar sangat menggugah perasaan dan membuat air mata menetes.

(vem/nda)

Mendiang Ayah yang Penuh Kehangatan

Kematian ayah terjadi dengan cara yang tak pernah aku duga. Ia meninggal pada usia 27 tahun. Ia masih muda, malah terlalu muda. Ayahku bukanlah seorang musisi ataupun orang terkenal. Tapi kanker tak pernah memilih korbannya. Ayah meninggal ketika aku masih kecil dan aku baru tahu apa itu pemakaman karenanya. Saat itu usiaku baru 8,5 tahun dan hingga kini masih merindukannya.

Ayahku adalah orang yang menyenangkan dan humoris. Ia juga penyayang yang selalu mencium keningku sebelum aku tidur. Ayah tak pernah bilang kalau ia akan meninggal. Meskipun ia terbaring di tempat tidur rumah sakit dengan selang di mana-mana, ia tak pernah bilang apa-apa. Hanya saja ia memberitahuku rencana yang ingin ia lakukan setahun ke depan, ia ingin pergi memancing, jalan-jalan, dan mengunjungi tempat-tempat baru. Tadinya aku percaya rencananya akan terlaksana, hingga suatu hari ibu menjemputku di sekolah.

Aku dan ibu pergi ke rumah sakit. Dokter bilang ia sudah berusaha sebaik mungkin. Lalu ibu menangis. Ia sebenarnya menyimpan secercah harapan. Kemudian aku merasa marah, bukankah penyakit ayah adalah penyakit biasa, penyakit yang bisa disembuhkan dokter dengan satu suntikan? Aku berteriak penuh amarah di rumah sakit. Sampai ketika aku benar-benar menyadari ayah telah tiada, aku menangis.

Kotak Sepatu yang Berisi Banyak Amplop

Meski raga ayah sudah tak bernyawa, tapi napas kehidupannya masih bisa kurasakan. Seorang perawat mendatangiku dengan membawa sebuah kotak sepatu. Kotak sepatu itu berisi banyak sekali amplop. Aku awalnya tak mengerti sampai ia bilang, "Ayahmu memintaku memberikan surat-surat ini untukmu. Ia menghabiskan waktu seminggu penuh menulis ini semua dan ia ingin kamu membacanya. Tetaplah tegar."

Sebuah amplop bertuliskan "Ketika Aku Pergi" kubuka. Lalu aku membaca isinya.

[startpuisi]
Putraku,

Saat kamu membaca surat ini, Ayah sudah pergi. Maaf. Ayah sebenarnya sudah tahu kalau Ayah akan meninggal.

Ayah tak mau memberitahumu apa yang akan terjadi, Ayah tak ingin melihatmu menangis. Meski sekarang mungkin kamu sudah menangis. Ayah merasa kalau pria yang tahu dirinya tak akan berumur panjang boleh saja bertindak sedikit egois.

Namun, kamu tahu, Ayah belum mengajarimu banyak hal. Oleh karena itu, Ayah membuat semua surat ini untukmu. Kamu baru boleh membukanya di saat yang tepat. Oke? Ini adalah kesepakatan kita.

Ayah mencintaimu. Jaga ibumu. Kamu adalah kepala rumah tangga sekarang.

Penuh cinta, Ayah.

NB: Ayah tak menulis surat untuk ibumu. Ia sudah mendapatkan mobil Ayah.
[endpuisi]

Ayah malah membuatku berhenti menangis karena tulisannya jelek. Meski hati ini sedih, tapi aku bisa sedikit tersenyum. Aku kini tahu kalau kotak sepatu itu berisi banyak pelajaran hidup yang bisa mendewasakanku nantinya.

Ketika Aku Bertengkar dengan Ibu

Aku pun tumbuh menjadi seorang remaja. Aku dan ibu pindah ke rumah yang baru. Sepeninggal Ayah, Ibu mengencani banyak pria tapi tak ada satu pun yang bisa menjadi kandidat terbaik untuk menggantikan posisi Ayah. Tapi Ibu masih saja bergonta-gani kekasih. Aku marah. Aku kesal. Terlebih ketika Ibu menamparku setelah aku komplain dengan kekasih barunya.

Tamparan Ibu tak sesakit rasa perih yang kurasakan dalam hati. Dan saat itu aku teringat dengan kotak sepatu dan surat-surat almarhum Ayah. Kuambil sepucuk surat yang bertuliskan "Ketika Kamu Bertengkar Hebat dengan Ibumu."

[startpuisi]
Sekarang minta maaflah kepada Ibumu,

Aku tak tahu kenapa kamu bertengkar dan siapa yang benar dan salah. Tapi aku mengenal ibumu. Jadi minta maaflah dengan tulus demi menyelesaikan ini semua. Yang kumaksud minta maaflah dengan hati yang sungguh-sungguh.

Ia adalah Ibumu, anakku. Ia mencintaimu lebih dari siapapun di dunia ini. Kau tahu ibu melahirkanmu dengan penuh perjuangan? Pernahkah kamu melihat seorang wanita melahirkan? Masih perlukah kubuktikan cinta yang lebih besar dari itu semua?

Minta maaflah. Ia pasti akan memaafkanmu.

Penuh cinta, Ayah.
[endpuisi]

Ayahku bukanlah seorang penulis yang baik. Ia hanyalah seorang pegawai bank biasa. Tapi kata-kata yang ia tulis itu benar-benar menyentuh perasaanku.

Aku langsung pergi ke kamar ibu. Dan betapa terkejutnya aku karena ia menangis. Matanya memerah dan terlihat jelas dirinya pun ikut terluka. Aku merengkuh tubuhnya dan memeluknya, "Maafkan aku, Bu." Ia memelukku erat dan tak butuh kata-kata untuk membuat kami berdamai dengan perasaan masing-masing.

Ketika Aku Menikah dan Ibu Meninggal

Ayah selalu bersamaku hingga detik ini. Surat-suratnya selalu memberiku semangat hidup. Sampai kemudian aku menikah dan akhirnya punya anak. Sepucuk surat berjudul "Ketika Kamu Menjadi Seorang Ayah" akhirnya kubaca.

[startpuisi]Sekarang kamu tahu apa itu cinta yang sebenarnya, putraku. Kamu akan menyadari cintamu pada istri sangatlah besar, tapi rasa cintamu pada seorang malaikat kecil di sana akan lebih besar lagi. Aku tak tahu apakah ia laki-laki atau perempuan. Aku sudah menjadi mayat sekarang, bukan peramal nasib.

Bersenang-senanglah. Ini adalah sebuah keajaiban. Waktu akan berlalu, jadi pastikan kamu selalu berada di dekatnya. Kenangan tak akan pernah bisa terulang. Mengganti popok dan memandikan bayimu akan memberi pelajaran berharga. Jadilah panutan yang baik untuknya. Aku yakin kamu akan menjadi ayah yang hebat, sepertiku.[endpuisi]

Waktu terus berjalan. Sampai sebuah kejadian paling menyedihkan dalam hidup kembali terjadi... Ibu meninggal.

Kubuka surat dari Ayah berjudul "Ketika Ibumu Meninggal". Dan surat itu adalah surat terpendek yang Ayah tulis sekaligus yang paling mengharukan. Hanya berisi tiga kata, tapi aku tahu Ayah pasti merasa sangat sedih dan terpukul saat menulisnya.

[startpuisi]
Ibumu sekarang milikku.
[endpuisi]

Sebuah gurauan. Tapi aku yakin di balik nada bercanda itu, hatinya saat itu pasti terasa remuk.

Ketika Waktuku Tiba

Sungguh luar biasa. Aku sekarang menjadi seorang pria tua. Usiaku sudah melebihi usia mendiang Ayahku. Namun, kini aku terbaring di tempat tidur di rumah sakit yang sama dengannya dulu. Waktu sudah berlalu. Kini aku merasa tak berdaya.

Sepucuk surat berjudul "Ketika Waktumu Tiba" tergeletak di dalam kotak. Aku takut membukanya. Aku tak ingin meninggal terlalu cepat. Tapi kucoba kumpulkan keberanianku. Kutarik napas dalam-dalam dan membaca isi surat tersebut.

[startpuisi]
Hai, putraku. Kamu pasti sudah jadi pria tua sekarang.

Kau tahu, surat ini adalah surat paling mudah yang kutulis. Malah ini surat pertama yang kutulis. Ini adalah surat yang bisa membebaskan rasa sakit dengan bayangan akan kehilanganmu. Kurasa pikiranmu lebih jernih ketika kamu sudah sedekat ini dengan ajal. Mudah rasanya membahasnya.

Di hari-hari terakhir kehidupanku, aku memikirkan kehidupan yang telah kujalani. Kehidupanku sederhana tapi penuh kebahagiaan. Aku memilikimu dan ibumu. Apa lagi yang mau kuminta? Kalian telah membuatku bahgia. Sekarang lakukan hal yang sama.

Saranku untumu: kau tak perlu merasa takut.

NB: Aku merindukanmu
[endpuisi]

Ladies, kisah ini adalah kisah fiksi yang ditulis oleh Rafael. Ia pertama kali mempublikasikan cerita ini di medium.com dan mendapat sambutan yang hangat. Rafael mendapat inspirasi membuat tulisan ini ketika melihat putranya yang berusia sembilan tahun. Ia membayangkan putranya tersebut saat membuat kisah ini.

"Pada intinya, saya hanya ingin menulis sesuatu yang istimewa (dan karena istri saya menyuruh saya menulis hal ini juga). Saya tak menyangka kisah ini dibaca dan dibagi sekian banyaknya," papar Rafael. Meski ini bukan kisah nyata, tapi tetap saja banyak pelajaran yang bisa kita ambil darinya.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading