Sukses

Lifestyle

Maaf Sayang, Tapi Aku Harus Pergi

Oleh: Agatha Yunita

Rena: Terkadang aku hanya tak bisa mengerti, mengapa ada pria yang mengatakan cinta kemudian tiba-tiba ia meninggalkan kita tanpa sebab yang jelas. Hanya ada kata perpisahan yang menyakitkan dan menghancurkan hati. Apakah memang hati wanita diciptakan untuk itu?

***

Bagas: Aku tahu, apa yang aku lakukan ini tentunya akan menyakiti hati Rena, tetapi aku sungguh-sungguh mencintainya. Dan aku tidak ingin membuat ia sedih dengan mengatakan yang sejujurnya. Karena hatinya akan jauh lebih terluka, ia akan kecewa, dan terlebih lagi, sebenarnya aku yang takut ditinggalkannya...

***

Rena: Bagas, adalah pria yang kukenal 4 tahun silam dari sepupuku. Kami bertiga kuliah di tempat yang sama, tinggal di tempat yang sama, kelaparan bersama-sama, dan berlari ke warung Padang terdekat setelah mendapat kiriman dari orang tua.

Kami sama-sama merantau di kota orang, mengejar mimpi dan dibekali doa agar dapat meraih prestasi. Demikian mimpi yang sama membuat kami tak lantas hanya bisa menghabiskan uang hasil kiriman orang tua. Kami bertiga saling memberi motivasi dan semangat agar kuliah kami diselesaikan dengan baik seperti keinginan keluarga.

Melewati ratusan peluh dan air mata, kami berjanji untuk menjadi sahabat yang saling menjaga hingga pendidikan yang harus kami tempuh ini usai. Demikianlah, tanpa kuduga sebelumnya, aku jatuh cinta pada Bagas. Sosok yang sebenarnya kuanggap sebagai sahabat, yang sama-sama tak ingin mengecewakan orang tua masing-masing. Aku tahu. Ia juga menyimpan perasaan yang sama, semua itu terlihat jelas dari binar matanya.

Dan benar. Tebakanku tidak salah, perasaan itu memang seperti radar yang tak berbohong ketika berbicara soal cinta. Bagas mencintaiku. Diam-diam di belakang sepupuku, kami menjalin hubungan, saling mencintai satu sama lain, saling menjaga satu sama lain. Aku bahagia karena cintanya.

***

Bagas: Rena, gadis cantik yang selalu kuat dengan senyum menawannya. Tak seperti gadis lain yang cengeng dan manja, ia tahu sekali kapan saat harus bersikap sebagai wanita, dan kapan harus mandiri. Aku jatuh cinta padanya, sejak pertama kali aku melihatnya.

Kami berjanji untuk menjadi sahabat yang saling mendukung mimpi, sehingga untuk waktu yang lama, aku harus berakting menjadi sahabatnya demi menjaga ia tetap dekat denganku. Sekian hari kuamati, aku menangkap gelagat yang sama. Kuberanikan diriku menyatakan cintaku padanya, dan ia membalas cintaku. Aku bahagia karena cintanya.

***

Rena: sudah 3 tahun berjalan kuliah kami, setengah bulan lagi aku harus bisa menyelesaikan kuliah ini. Aku tak ingin ayah dan ibu menunggu terlalu lama. Aku ingin membuat mereka bangga. Tetapi, aku tak ingin meninggalkan Bagas.

Awalnya, aku mengira Bagas sedih dan masih tak rela ditinggalkan. Gelagatnya tampak aneh dan menjadi pendiam. Kami jadi jarang bertemu berdua seperti dulu lagi. Ia hanya muncul saat sepupuku ada, dan sisanya ia habiskan di kamar sendiri atau di luar, dengan alasan-alasan yang tak pernah kuketahui. Apakah dia sudah punya yang lain?

Aku berusaha mengusir pikiran buruk itu, dan menganggap bahwa aku terlalu sensitif sebagai seorang wanita. Tetapi lambat laun, sikapnya benar-benar mengganggu, sampai...

"Kamu apa-apaan sih? Aku ngerasa kamu menghindar deh, apa aku berbuat salah sama kamu?" aku mendorong tubuh Bagas ke dalam rumah kontrakan, saat kutanggap dia hendak pergi menghindariku lagi. Kali ini aku tak kehabisan akal. Aku berpura-pura harus kuliah pagi, namun kutunggu dia keluar dari persembunyiannya.

"Apa sih Ren? bukannya seharusnya kamu kuliah pagi ini? aku juga buru-buru nih!" tegas Bagas padaku tanpa melihat wajahku. Ia menatap ke jalan, seolah memang tak ingin diganggu. "Nggak. Tunggu dulu. Jelasin dulu ke aku, kenapa kamu jadi bersikap aneh begini? Baru deh aku akan melepaskan kamu," kataku lagi.

"Aku capek. Aku punya banyak tanggung jawab kepada kedua orang tuaku. Jadi aku minta kamu nggak mengganggu aku. Itu aja, aku harap kamu bisa mengerti tanpa menuntut sesuatu yang tak perlu dijelaskan lagi. Sudah! Aku pergi." Bagaspun sekejap saja menghilang dengan motornya. Meninggalkan tanda tanya yang perlahan luntur dibawa air mata. Segera saja kusadari, mataku sudah tak sanggup menahan kaca-kaca yang makin menebal. Kaca tersebut kemudian jatuh, pecah dan membasahi bajuku.

Semenjak hari itu aku selalu bertanya, apa yang salah dari diriku. Sepupuku jadi heran, mengapa aku dan Bagas lebih sering murung dan menyendiri. Namun, aku berhasil sekali lagi mengelabuinya. Sebulan cukup memberiku waktu untuk menjadi wanita yang cengeng dan tidur di atas air mata. Kuseka air mata itu, dan segera kuselesaikan kewajibanku agar bisa kubanggakan sepulang dari kota nanti. Ayah, ibu, tunggu anakmu...

***

Bagas: Aku tak ingat sejak kapan aku merasa sakit perut. Sakit nyeri yang semakin hari semakin kuat ini mengangguku, hingga suatu hari aku nyaris pingsan dan berhasil ditolong oleh Roy. Iapun menyarankanku bermain ke rumahnya. Ayahnya adalah seorang dokter, mungkin ia bisa membantu memeriksa kondisiku dengan cuma-cuma. Roy tahu benar aku anak perantauan, jadi kali ini ia meminta ayahnya tak menarik sepeserpun dari jasanya.

"Sejak kapan kamu merasa sakit perut begini?" tanya ayah Roy. Aku menggeleng, aku bahkan tak pernah ingat. "Nggak ingat, Om. Biasanya memang cuma mual-mual saja, seperti sakit maag, tapi diminumi obat juga udah baikan kok. Mungkin hari ini kelelahan saja," hiburku.

"Apakah kamu juga seringkali merasa pusing karena anemia?" tanyanya lagi membuatku jadi curiga. "Iya kadang sih, Om. Kenapa ya? apakah serius Om?" aku jadi deg-degan dan cemas.

"Om sarankan kamu pergi ke rumah sakit dan melakukan pemeriksaan sinar X. Nanti Om beri pengantarnya. Om tidak yakin, tetapi dari gejala dan keluhan yang kamu rasakan, Om rasa ini adalah kanker perut. Kita harus tahu, sudah seberapa besar ia berkembang di dalam perut dan mengganggu lambungmu." Bagaikan petir di siang hari, semua berita itu menyambar tanpa memberi ampun. Tanpa menunggu lama akupun mengikuti saran Om, dan memeriksakan diri. Masih dibantu oleh Roy dan ayahnya, aku mendapatkan diriku ternyata sudah berada di stadium 4. Om bilang tak berani memprediksikan usia, karena usia itu di tangan Tuhan. Yang dapat dilakukannya adalah membantu pengobatakanku dan meringankan rasa sakitku.

Hari itu, aku merasa hidupku hancur. Aku takut kehilangan segala sesuatu yang tengah manis kunikmati saat ini. Aku takut kehilanganmu Ren...

***

Rena: Hari ini adalah hari wisudaku. Rasanya sebagian beban terlepas dari bahuku. Namun, ada satu hal yang membuatku gelisah sedari tadi. Aku tak menemukan batang hidung Bagas di manapun, apakah ia benar-benar sudah melupakanku? Apakah dia tak sedikitpun ingin merayakan hari bahagiaku?

Aku meminta ayah dan ibuku untuk pulang lebih dulu. Berbekal alasan masih ingin mengurus surat ini itu, aku akan tinggal 2 minggu lagi di sini. Dalam hati aku sadar, 2 minggu itu akan kumanfaatkan baik-baik untuk mencari tahu mengapa Bagas berubah.

***

Bagas: Aku tahu ini adalah hari terakhir Rena di sini. Dengan terpaksa aku harus menemaninya sampai ke stasiun. Aku tetap menunjukkan sikap dingin kepadanya, walau hati ini rasanya tak rela. Ingin sekali aku memeluknya, menghujaninya dengan ciuman selamat karena ia berhasil menyelesaikan studinya terlebih dahulu. Tapi setiap kali melihatnya, kuurungkan niat itu. Aku tak ingin melihatnya terluka. Aku sangat mencintainya.

"Aku ingin mampir ke taman itu dulu Gas," kata Rena dengan lirih. Awalnya aku enggan, namun melihat wajahnya yang memelas, akupun mengantarnya ke taman tempat kami sering duduk berdua dulu.

Ia berlari ke sebuah pohon, dicarinya inisial yang kami pahat di sana dulu. B & R, semuanya tak ada. Rena terisak dan memekik lirih, "hilang... semuanya hilang... di mana ya? kayaknya di sini, tapi kok nggak ada. Gas, hilang Gas..." aku yang tak tega sengaja menjaga jarak. Aku tak ingin terlibat emosinya saat itu. Kubiarkan ia menangis sendiri hingga ia puas. Ia diam, menghapus air matanya, dan berjalan ke arahku.

"Aku tak mengerti sampai sekarang, mengapa sikap dinginmu itu tetap saja kau tunjukkan. Apa sih yang sebenarnya kau inginkan? Aku tak tahu. Baiklah, mungkin memang sudah ada yang mengisi hatimu. Antar aku ke stasiun Gas," kata Rena dengan mata sayu tanpa energi. Keceriaan dan semangatnya seperti luntur disapu kesedihan mendalam di hatinya.

Akupun mengantarnya ke stasiun, melepas kepergiannya yang sebenarnya tak kurelakan. Untunglah hari itu hujan, setiap tetes air hujan itu menyelamatkanku. Air mata yang keluar dan mengalir di pipiku tak ada yang tahu. Aku hanya berjalan gontai dan membiarkan orang yang kusayangi pergi tanpa tahu apa yang sebenarnya. Aku hanya berharap ia tak terluka dan tak bersedih akan kepergianku...

Maafkan aku Ren, aku mencintaimu...

***

Rena: Yah, demikianlah cinta. Mungkin aku saja yang terlalu berharap dan memimpikan yang tidak-tidak. Terpaksa harus kutelan pedih ini sendiri, tanpa tahu kesalahanku yang sebenarnya. Oh, aku tahu. Kesalahanku adalah mencintaimu yang tak mencintaiku juga.

Baiknya, aku kubur semua perasaan itu. Aku akan kembali ke kotaku. Selamat tinggal, Bagas...

(vem/bee)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading