Sukses

Lifestyle

Kado Natalku Tahun Ini Adalah Kamu

Helda menyedot sisa-sisa teh dalam minuman kotaknya sambil menerawang dengan bosan. "Srooooooottt..." Bunyinya memecahkan kesunyian di atap gedung kantor yang dilalui angin.

Ia sangat bosan, tapi setengah jam lalu sebelum ia menemukan teh kotak dingin di mejanya, ia benar-benar dibuat jengkel oleh Miko. Atau mungkin dibuat cemburu. Miko mendahulukan pekerjaan daripada janjinya pada Helda untuk membantunya dalam sebuah program kerja.

"Gini ya, Ko. Kalo kamu nggak bisa, bilang dari awal. Aku kan nggak perlu berharap banyak sama kamu," omel Helda ketus.

"Duh, sori banget, Hel. Ini bener-bener mendadak. Habis ini aku bantuin. Satu jam...satu jam, Hel," ujar Miko membujuk Helda.

Wanita itu menepis tangan Miko, "Nggak usah. Aku udah nggak punya waktu dan nggak punya nafsu untuk garap proyek ini." Helda membanting map kerjanya ke meja kerja Miko dan meninggalkan lelaki yang masih panik dan bingung itu.

Masih menyebalkan untuk diingat. Helda pun belum mau kembali ke ruangannya. Ia sudah sering merasa kecewa dengan Miko, mereka sudah kenal sejak kuliah. Mereka berasal dari latar belakang yang jauh berbeda. Miko memang punya status ekonomi dan pekerjaan lebih tinggi dan otomatis lebih sibuk dibanding Helda, namun ia sering menjanjikan sesuatu yang batal di menit-menit terakhir karena pekerjaan atau aktivitas organisasi. Memang hal itu sepele seperti makan malam, makan siang, travelling bersama dan sebagainya. Namun... ah, dada Helda terlalu sesak untuk mengatakan ia cemburu.

Cemburu pada pekerjaan jauh lebih menyiksa daripada cemburu pada wanita lain. Ia juga cemburu pada status Miko yang sudah lebih mapan, posisi kerja tinggi dan cerdas sehingga dia selalu disukai semua orang. Kadang terbersit di pikiran Helda bahwa Miko bisa seenaknya membatalkan janji karena segala hal yang dimilikinya. Andai saja Helda juga punya uang banyak, pintar dan posisi yang lebih tinggi. Mungkin Miko akan menoleh ke arahnya.

Helda melempar kotak tehnya ke tong di ujung balkon. Lalu bersiap-siap pulang karena jam sudah menunjukkan pukul empat sore.

Keesokan harinya, Helda terperanjat melihat map yang sudah ditandatangani oleh pimpinan kantornya. Map itu bertengger dengan manis di mejanya dan ada sebuah memo kecil di atasnya yang ditindih dengan pelubang kertas.

"Hel, maaf ya soal kemarin. Aku tahu proyek ini impian kamu, tapi aku sering mendahulukan semua job yang tiba-tiba datang. Pak Johan udah tanda tangan dan dia setuju dengan proyekmu. Dia bilang rencanamu bagus. Selamat ya, Hel. Semangat juga, jaga diri jangan sampe sakit. Miko"

Helda sedikit merasa bersalah baca memo itu, namun ia masih tidak percaya bahwa tanda tangan bosnya sudah tercantum di sana.

"Mbak Helda, semuanya sudah siap," tiba-tiba seorang asisten menghampirinya.

"Eh?" Helda melongo heran.

Asisten pria itu tersenyum, dia kelihatan baru bekerja keras dengan lengan baju dilipat dan wajah sedikit berantakan. "Kemarin sore Mas Miko sudah handle, Mbak. Program sale Natalnya udah jalan sejak semalem. Nanti siang kita bisa mulai isi acara untuk panggung Natal. Pengisi acara juga sudah dihubungi."

Helda makin kaget, "Lho? Semuanya udah siap? Diurus Miko?"

Asisten itu mengangguk, "Iya, Mbak. Setelah rapat kemarin, Mas Miko tiba-tiba minta pekerjaan kami dipending karena mau ada sale. Ada komisinya, jadi kami setuju kerja sampai lembur. Hehehe.."

Helda terdiam dan melongo. Jadi Miko benar-benar menepati janjinya untuk menurus program kerja Helda setelah satu jam? Bahkan sampai pagi?

Helda bergegas ke atrium hall plaza di mana dia bekerja. Dia mau mencari Miko. Sekalipun ada rasa malu, menyesal dan bersalah, dia tetap ingin menemuinya. Dari kejauhan ia melihat punggung Miko yang masih menggunakan kemeja krem. Ia masih rapi tapi nampak capek.

"Miko, aku mau ngomong," bisik Helda pelan saat menghampiri Miko yang sedang bicara dengan seorang pegawai.

Tak lama, Miko menghampiri Helda di dekat panggung. Ia berwajah lelah, tapi berusaha menutupinya dan menanggapi Helda dengan baik, "Ya, Hel. Udah baca memoku? Maaf banget, Hel. Hari ini aku juga masuk cuma setengah hari, tapi udah aku pesenin ke semua karyawan. Kamu bisa hubungin aku kalau..."

"Miko," sela Helda. Miko sedikit terpana dan menjawab, "Ya, Hel?"

Helda menarik nafas dan memandang wajah Miko, "Ko, maaf ya. Aku kemarin kasar banget. Marahin kamu di ruangan staf sampai semua orang jadi ngeliatin kita."

Miko mengangguk, "Nggak masalah, Hel. Memang aku yang salah, aku juga bisa instrospeksi."

Helda menyahut lagi, "Aku selama ini berpikir bahwa kamu sombong dan sok berkuasa dengan statusmu. Bahwa kamu bisa memperlakukan aku seenaknya. Nggak berpikir kalo kamu memang bener-bener harus handle banyak hal. Maaf, Ko. Aku minta maaf." Suasana di antara mereka berdua sedikit hening. Miko pun terdiam mendengar kata-kata Helda.

"Selama ini aku pikir kamu sok kaya dan bisa mainin orang dari keluarga miskin seperti aku. Ternyata aku nggak cuma miskin harta, tapi hatiku juga miskin," ujar Helda sedikit menunduk karena menyesal.

Miko tersenyum, "Kamu nggak akan tahu apakah kamu kaya atau miskin, sebelum kamu berbagi dengan orang lain," kata Miko. Ia memegang kedua bahu Helda dan sedikit membungkuk agar bisa melihat wajah tertunduk wanita itu. "Jadi mulai sekarang, bagi kepercayaanmu padaku ya, Hel. Bagi juga perasaanmu ke aku," ujarnya membuat Helda mendadak melihat ke arahnya.

"Kita udah sama-sama dewasa. Aku selalu ingin membahagiakanmu karena salut dengan usahamu dalam pekerjaan selama ini. Aku ingin menjadi bagian yang bisa menyukseskan impianmu, tapi yah.. aku selalu kelimpungan dengan pekerjaanku. Mulai sekarang kita tim, aku akan selalu support kamu dan aku berharap kamu nggak nolak 'penembakanku' secara profesional dan emosional ini," lanjutnya. "Kado Natal tahun ini, boleh aku jadi pendampingmu?" tanya Miko.

Keadaan mendadak hening, seolah waktu terhenti. Helda sedikit tidak percaya dengan apa yang baru dikatakan oleh Miko. "Jadi.. aku ditembak nih?" tanya Helda. Miko mengangguk.

"Jadi pacar?" tanya Helda lagi. Miko tersenyum dan berkata, "Kalau kamu mau, kita menikah aja." Helda makin tak percaya, ia terkejut sampai menahan nafas dan tak kunjung melepaskannya.

Ternyata selama ini Miko berusaha merespon perasaannya, namun Helda malah sibuk berpikir yang bukan-bukan tentang Miko.

Helda terharu dan mengangguk, "Iya aku mau. Aku mauuuuu, Mikooo!" Ia mendadak berseru, membuat karyawan sedikit menoleh heran ke arah mereka. Namun Miko dan Helda cuek saja. Helda terlalu bahagia dengan kado Natal terindahnya tahun ini.

 

'Manusia selalu punya hati yang kaya untuk berbagi kasih dengan sesamanya. Manusia selalu dicukupkan dalam kebahagiaan lewat hatinya, namun seringkali terlena oleh bingarnya kehidupan dalam benaknya.'

 

(vem/gil)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading