Sukses

Lifestyle

Should You Fight An Attacker?

Aksi kekerasan terhadap wanita saat ini semakin gencar terjadi. It’s scary situation, karena untuk menyelamatkan diri di tengah situasi yang sangat mengerikan itu, tiap detik sangat berpengaruh. Berikut Cosmo memuat testimonial dari tiga wanita yang telah mengalaminya – and survived!

Anda tentu pernah membaca berita mengenai kasus-kasus kekerasan terhadap wanita, entah di tempat umum maupun sepi. Anda prihatin mendengarnya, mungkin berpikir, "Oh God, hal itu bisa saja terjadi kepada saya", atau bisa juga Anda berpikir, "Selama saya dikelilingi oleh teman-teman – pria – maka pasti saya aman." Well, Cosmo bukannya ingin menakut-nakuti Anda, tapi Anda tak pernah bisa memprediksi apa yang akan terjadi, walaupun Anda di kelilingi oleh seorang teman pria yang mungkin Anda telah kenal lama.

Lalu, apa yang harus Anda lakukan jika hal itu terjadi? "apakah saya pasrah saja atau mesti melawan balik?" adalah satu pertanyaan yang kerap terlontar. Walau Cosmo menganjurkan Anda untuk melakukan apa saja yang Anda bisa – dari menendang, memukul, berteriak, menggigit – yang bisa mencegah pelaku untuk menarik Anda ke dalam mobil atau ke manapun, sayangnya, untuk hal ini tak ada jawaban yang mudah karena setiap situasi berbeda-beda.

Di artikel ini, Cosmo ingin berbagi cerita dari tiga wanita yang cukup berani untuk melawan sehingga mereka pun berhasil melarikan diri. Mereka tetap fokus dan terus mencari momen di mana mereka bisa menjatuhkan sang penyerang. Hopefully you’ll find their stories inspiring, dan memberikan pesan bahwa, ya, lebih baik mempersiapkan diri secara mental dan fisik daripada mengelabui diri dengan berkata, "Hal itu tak akan terjadi kepada saya." [initial]

Source: Cosmopolitan, Edisi Oktober 2012, halaman 237

(Cosmo/bee)

HAMPIR DIPERKOSA TEMAN SAAT TIDUR

“Di suatu malam pada Juni 2011, saya menerima tawaran untuk menjaga rumah tetangga saya yang pergi ke luar kota. Untuk menemani saya mengundang empat teman dekat saya untuk datang. Kebetulan kami baru saja lulus sekolah dan kami memutuskan untuk mengadakan perayaan kecil-kecilan sebelum kami masuk kuliah.

Pada tengah malam, satu teman sudah terkapar di salah satu kamar tidur, dan dua lagi telah pulang, sehingga tinggal hanya ada saya dan David*, salah satu sahabat pria saya. Kami sudah bersahabat selama bertahun-tahun, maka saya pun merasa aman-aman saja hanya berdua dengan dia. Tak lama saya tertidur di sofa.

Namun di tengah malam saya mendadak terbangun, dan betapa kagetnya saya ketika mendapatkan diri sudah telanjang bulat, dan sosok David – yang tidak mengenakan celana – berada di atas saya. Saya sontak coba mendorongnya tapi ia menjambak rambut saya dan menghantamkan kepala saya ke coffee table di samping sofa. Saat itulah saya baru merasakan takut yang luar biasa; sempat terlintas pikiran kalau ia akan membunuh saya.

Tapi saya memutuskan untuk tidak pasrah – I’m going to fight back, dan setelah saya mengucapkan 'mantra' itu, tiba-tiba saya seolah disalurkan tenaga ekstra untuk melawan. Saya menendangnya di selakangan. Ketika ia terjatuh ke belakang, saya langsung melompat ke atas dadanya. Satu kaki menekan dada, dan satu kaki lagi menahan keseimbangan di lantai, dan posisi ini berhasil membuat ia tak berkutik. Saya meraih ke arah ponselnya yang terletak di lantai tak jauh dari kami, dan menelepon polisi. Selama beberapa menit, saya terus 'mengunci'-nya di lantai sampai akhirnya polisi datang dan menangkapnya.

Karena David baru berusia 17 tahun, maka ia diadili sebagai remaja, dan hanya divonis tiga tahun penjara. Tapi bagi saya, jelas kejadian itu merupakan sesuatu yang sangat traumatis, apalagi pelakunya adalah sahabat sendiri. Walaupun memar dan cedera lainnya lambat laun sembuh, namun cukup lama saya mengalami depresi karena momen buruk itu selalu terulang-ulang di kepala.

Walau begitu, saya cukup bangga dengan diri saya. Karena dalam hitungan detik, saya memutuskan untuk fight for my life. Saya tak pernah berpikir kalau saya mampu melawannya. But I did – dan itu menjadi alasan sekarang saya masih berada di sini." – Anna Hanson, 19. [initial]

Source: Cosmopolitan, Edisi Oktober 2012, halaman 237

DISERANG SAAT BERLIBUR

"Saat saya dan teman-teman pergi ke Aruba di April 2011, tentu yang saya pikirkan hanyalah, 'Akhirnya bisa berlibur juga!' Tentu tak pernah terlintas di pikiran kalau hal buruk akan terjadi di sana. Selama liburan, saya menghabiskan waktu di pantai dan di hotel, dan saya merasa aman-aman saja.

Tapi hal tak terduga terjadi saat kami makan malam di salah satu restoran mewah di sana. Jam menunjukkan pukul 21.00, dan saya permisi untuk pergi ke ladies room. Di sana, saya langsung masuk ke dalam salah satu bilik. Tak lama setelah saya duduk di atas toilet, tiba-tiba seorang pria bertubuh besar (dua kali lebih besar daripada saya) menerobos masuk ke dalam bilik yang pintunya belum sempat saya kunci, dan menonjok saya di mata kiri.

It was a brutal attack – ia menghantam saya berulang kali di wajah. Saya benar-benar kaget dan tak tahu mesti berbuat apa, tapi saya buru-buru menyadarkan diri kalau saya membiarkannya, mungkin ia akan memerkosa atau – lebih parah – membunuh saya, dan saya harus segera bertindak!

Lalu saya mencoba mengingat jurus bela diri yang saya pelajari bersama Ibu beberapa minggu sebelumnya. Saat simulasi serangan yang tak jauh berbeda dari apa yang saya alami sekarang, saya tak menyangka saya akan mengalaminya dalam kehidupan nyata!

Pertama, saya menjerit sekeras-kerasnya, untuk memberitahukan sang penyerang kalau saya tak akan diam saja di hadapannya, dan supaya orang-orang di luar bisa mendengarnya. Tapi tak ada yang mendengar jeritan saya, dan karena ia terus menyerang, saya sadar bahwa saya mesti ke luar dari tempat ini dengan perjuangan sendiri.

Di tengah pukulannya yang bertubi-tubi, saya mendapatkan peluang untuk mendorongnya sekuat tenaga dengan seluruh tubuh saya, lalu saya menendang selakangannya dengan lutut. Kemudian saya terus-menerus mendorongnya sampai akhirnya saya berhasil mendorongnya ke luar dari pintu kamar mandi dan ia pun jatuh terjerembab di area restoran. Si penyerang mencoba melarikan diri tapi langsung dihentikan oleh orang-orang dan ditahan sampai akhirnya polisi datang.

Ya, saya merasa bersyukur sekali telah ikut kelas bela diri karena ilmu yang saya dapat mungkin telah menyelamatkan hidup saya. Insiden yang saya alami merupakan sesuatu yang menakutkan, tapi jika melalui hal tersebut saya bisa membantu wanita lain, then it was worth everything." – Lily Konowitz, 19. [initial]

Source: Cosmopolitan, Edisi Oktober 2012, halaman 237

BAHAYA SAAT BEKERJA

"Di tahun 2002, saya diterima bekerja di salah satu butik ternama yang lokasinya tak terlalu jauh dari rumah saya. Saya lebih banyak bekerja di siang hari, tapi sesekali saya juga membantu sampai jam tiga pagi saat ada pengiriman barang baru.

Di salah satu shift pagi tersebut, saya berada di stockroom dan musik terdengar lantang dari sound system. Karena volume musik yang keras, saya tak mendengar seseorang berada di belakang saya. Mendadak saya merasakan dua tangan yang mencengkeram lengan saya dan memutar saya menghadapnya. Ternyata ia adalah Alex*, salah satu kolega yang masih berumur 16 tahun. Ia masih duduk di bangku SMU dan saya berteman dengan dia karena menurut saya dia orangnya lucu dan ramah.
Lalu, dengan tangannya yang satu lagi, ia mendorong dan menekan saya ke dinding, kedua tangan saya berada di atas kepala. Saya berteriak, namun ia hanya berkata dengan tenang, 'Tenang saja, saya tahu kamu menginginkan ini, jadi tak ada gunanya untuk melawan.'

Saya merasa takut sekali, tapi saya juga merasa marah karena ia memberikan kesan kalau saya yang ‘meminta’ ia melakukan hal ini kepada saya. Dan karena rasa marah inilah saya bertekad untuk melawan balik.

Ketika ia mencoba mendorong saya ke lantai, saya berhasil membebaskan satu tangan dan saya langsung menyerang tenggorokannya. Ia tersedak dan mundur beberapa langkah, dan insting saya setelahnya adalah untuk mencolokkan jari saya ke kedua matanya sekeras mungkin. Rasa sakit yang timbul membuatnya melepaskan cengkeraman tangannya dan ia pun menjadi limbung, memberikan saya peluang untuk melarikan diri ke dalam toko.

Saat itu dalam benak saya sedang berkecamuk pertanyaan mengenai apakah sebenarnya memang saya yang mengundangnya untuk melakukan hal tersebut. Maka dari itu saya tidak melaporkannya ke manajer saya. Saya hanya bilang kalau Alex mencoba mencium saya, tapi saya menolaknya dan sekarang saya hanya ingin pulang.

Saya berhenti dari pekerjaan itu, dan memutuskan untuk tidak melaporkannya ke polisi. Ya, sama seperti korban kekerasan lainnya, saya merasa takut setiap kali mengingat kembali insiden tersebut sehingga saya berusaha keras untuk melupakannya supaya bisa move on dengan kehidupan saya.

Sekarang, saya punya saran bagi para pembaca Cosmo, jika Anda sampai mengalami hal yang sama seperti saya: Tetaplah tenang, dan terus cari momen yang tepat untuk melawan. Saya tak tahu apa yang akan terjadi jika saya tidak berhasil melepaskan diri. Tapi saya juga tahu betapa beruntungnya saya tidak panik dan tidak memasrahkan diri terhadap situasi." – Morgan Roberts, 28.

Hit Him Where It Hurts

Para pakar mengatakan ini adalah tiga anggota badan pria yang paling rentan. Memukulnya dengan cara yang tepat bisa menyelamatkan hidup Anda.

  1. Mata. Tusuk matanya dengan jempol supaya sang penyerang jadi limbung. Kalau bisa, pegang kepalanya dengan tangan lain supaya jari Anda tidak meleset dari sasaran.
  2. Dagu. Area leher, rahang dan mulut menjadi target ideal. Gunakan siku atau telapak untuk memukul dari arah bawah dagu. (Jangan memukul dengan tangan mengepal karena tangan Anda bisa patah.)
  3. Selakangan. Area selakangan terdiri dari banyak urat syaraf, maka melihat lutut Anda meluncur ke area ini saja sudah cukup untuk membuatnya mundur sehingga memberikan peluang bagi Anda untuk melarikan diri.[initial]

Source: Cosmopolitan, Edisi Oktober 2012, halaman 237

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading