Sukses

Lifestyle

Belajar Ikhlas Bersedekah Dari Seorang Anak

Oleh: Evania G. Amanda

Bulan Ramadhan hampir tiba, kita semua menyambutnya dengan riang gembira. Berbicara mengenai bulan Ramadhan, kita selalu dibiasakan untuk banyak bersedekah dengan ikhlas. Benar bukan? Sayangnya, seringkali ikhlas yang kita berikan kepada orang lain bukanlah ikhlas yang sesungguhnya. Mari baca pengalaman penulis dengan seorang anak berusia lima tahun berikut ini.

Pada bulan Ramadhan tahun lalu, saya berkunjung ke rumah saudara yang memiliki seorang anak perempuan berusia lima tahun, namanya Amelia. Seperti anak-anak pada umumnya, Amelia dengan riang gembira bercerita bahwa dia sudah belajar puasa, walaupun hanya setengah hari. Bocah menggemaskan ini sangat menikmati masa-masa belajar berpuasa, juga saat saya dan ibunya mempersiapkan beberapa barang untuk disumbangkan pada salah satu panti asuhan.

Saya sempat bertanya padanya, "Amelia, kita mau bersedekah, kalau bersedekah kita harus apa?"

"Ikhlas," jawabnya dengan nada lucu.

Saya tersenyum, karena memang itulah jawaban yang ingin saya dengar. Kemudian, percakapan saya bersama Amelia selanjutnya benar-benar mengubah pemahaman saya mengenai arti ikhlas.

"Tante, aku mau menyumbangkan tas ini untuk teman-teman di panti asuhan." ujar Amelia sambil menyodorkan sebuah tas sekolah yang saya ketahui itu baru dibeli seminggu yang lalu.

"Tapi Amelia, tas itu kan masih baru, kamu tidak sayang kalau tas itu diberikan ke orang lain?" tanya saya dengan nada heran. Biasanya anak-anak tidak suka jika harus menyerahkan barangnya, apalagi yang masih baru kepada orang lain yang tidak dikenal.

"Amelia ikhlas kok, tante! Kata mama, kalau mau bersedekah itu harus ikhlas dan bermanfaat bagi yang menerima, masa sedekahnya tas yang sudah sobek dan kotor. Kalau tasnya masih bagus, pasti mereka lebih senang," ujar Amelia sambil tersenyum riang dan sangat yakin. "Nanti Amelia mau nabung buat beli tas baru, tas yang sekarang sudah sobek sedikit, tapi masih bisa dipakai kok,"

Ucapan itu seperti palu yang langsung menghantam hati saya. Ingatan saya langsung menembus berbagai sedekah yang sudah saya lakukan, yang sudah saya ikhlaskan. Tapi saya berpikir, apakah benar saya ikhlas? Atau saya ikhlas bersedekah karena barang yang saya sedekahkan sebenarnya barang yang sudah tidak saya butuhkan, bahkan beberapa tak layak.

Baju yang saya sumbangkan selalu baju yang sudah tidak cukup saya pakai, sudah sobek di beberapa bagian, sudah lepas kancingnya, sudah pudar warnanya.

Benda-benda yang saya sedekahkan mayoritas adalah benda yang sudah hilang fungsinya, baik sedikit atau seluruhnya.

Dan ya, dengan jujur saya akui, seharusnya benda-benda itu saya buang ke tempat sampah untuk didaur ulang, bukan untuk diberikan pada orang lain yang memiliki kehidupan yang lebih sulit dari saya.

Saya belajar dari Amelia, ikhlas yang sesungguhnya bukan ikhlas karena kita memberi barang yang hampir menjadi sampah kepada orang lain, tetapi kerelaan hati untuk berbagi sesuatu yang bermanfaat, sesuatu yang berguna, sesuatu yang bila bagi kita layak, maka orang lain juga layak mendapatkan hal yang sama.

Jika saya layak memakai baju baru, orang lain (yang selalu saya anggap rendah karena miskin) juga layak memakai baju baru yang sama, dari tangan-tangan kita. Bukan baju bekas yang sudah hilang kancingnya.

Semoga kisah ini membuka pikiran dan hati kita dan semoga Ramadhan tahun ini membawa berkah pada kita semua.

(vem/yel)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading