Sukses

Lifestyle

Mari Menjadi (Tetap) Waras dalam Kegilaan Media Sosial

Keriuhan di group Whatsapp ibu-ibu komplek saya dipicu oleh kiriman video tentang kelahiran bayi Dajjal di Israel. Mulai dari perdebatan apakah harus mengucapkan astaghafirullah atau masyaallah sampai akhirnya ada yang bertanya apakah itu benar dan kapan kejadian kelahiran tersebut. “Kejadiannya baru saja kok, saya baru dapat dari suami saya,” jawab ibu penyebar video.

Sepotong kejadian di atas ini benar adanya dan saya yakin semakin jamak kita alami di jaman grup-grup percakapan menjamur di sini. Sungguh miris dan memprihatinkan karena informasi yang sudah demikian usang didaur ulang lagi dan lagi – entah untuk kepentingan apa.

Dan lebih menyedihkan lagi, setiap kali informasi itu didaur ulang, selalu ada saja yang menjadi korban (karena menelan mentah-mentah dan kemudian membagikan ke ratusan kontak mereka dengan asumsi dia adalah penerima berita termutakhir). Ini menjadi fenomena yang sungguh sangat biasa dalam kehidupan kita sehari-hari saat ini.

Kiat untuk waras di tengah derasnya arus informasi masa kini sebenarnya sederhana saja; follow/unfollow, friend/unfriend kalau memang berurusan dengan akun pribadi milik kita yang berjejaring dengan sumber-sumber informasi (yang menurut kita) tidak sesuai dengan hati nurani kita. Saya masih percaya tidak ada orang yang 100 persen tidak memiliki “sense” mendeteksi kebohongan. Tapi dalam banyak kasus, ternyata tidak sesederhana kita membisukan akun teman-teman kita. Suka atau tidak, tanpa kita undang, informasi datang, seperti contohnya berita bayi Dajjal tersebut.

(vem/nda)

Pentingnya Menguji Informasi

Berkat telepon genggam pintar dan akses internet, informasi dengan liarnya menyeruak ke ruang publik dan ranah pribadi, tak mengenal waktu dan jarak. Bahkan tidak mengenal sekat umur atau gender. Informasi melanda kita bagaikan air bah yang menerjang tatanan yang disusun dengan penuh kehati-hatian oleh media arus utama. Di redaksi koran, misalnya, ada proses editing dan proses proofreading. Dan jauh sebelum dua proses ini terjadi, ada proses pengumpulan data dan proses verifikasi.
 
Proses mengolah informasi adalah proses mematuhi disiplin dan konsisten memperlakukan informasi sebagai bagian dari upaya untuk rekonstruksi sebuah kejadian; dengan asumsi peristiwa sudah terjadi dan banyak mata-telinga yang melihat dan mendengar sehingga semua pihak (bukan hanya dua) yang harus didengar dan dianggap penting bagi rekonstruksi peristiwa tersebut.
 
Menguji informasi juga penting dalam pengolahan berita. Narasumber, terlepas dari kepakaran tingkat dewa mereka, harus ditanggapi dengan skeptis. Bahkan apa yang keluar dari mulut seorang pemimpin daerah harus selalu diverifikasi – terlebih di jaman yang serba politis dan semua orang memiliki kepentingan dan agenda politik seperti pada masa ini.

Lebih Waspada Soal Beredarnya Berita Palsu

Seorang teman editor sempat mengeluh,”Bahkan wartawan sekarang cenderung menelan mentah-mentah apa yang keluar dari mulut si A. Mereka hanya melaporkan tapi tidak memikirkan konteks pada pernyataan pejabat itu, tidak mau melakukan penelahaan pada data yang sudah ada sebelumnya.”
 
Dan sekarang sudah bukan masanya lagi disiplin dan konsistensi ini dipraktikkan, melihat produk-produk informasi yang dikeluarkan oleh media arus utama, sungguh saya berharap salah dalam hal ini.
 
Di sisi lain, contoh kejadian di atas dan jutaan peristiwa lain yang kita alami tidak eksklusif menjadi milik Indonesia, dimana media sosial dan smart phone memiliki populasi yang luar biasa besar, karena negara adidaya semacam Amerika Serikat pun dilanda kegelisahan yang sama tentang bagaimana media sosial dikonsumsi dan menyesatkan penggunanya untuk kepentingan kelompok atau individu tertentu.
 
Baru-baru ini paska pemilihan presiden, perusahaan raksasa Google dan Facebook mengambil langkah-langkah nyata untuk memerangi maraknya berita palsu tapi sekali lagi yang bisa dilakukan oleh dua raksasa perusahaan internet ini tetap membutuhkan partisipasi pengguna aplikasi layanan mereka.
 
Dua perusahaan ini mendapat kritikan keras dari berbagai pihak karena membanjirnya ‘hoax’ dan berita palsu yang diunggah ke internet untuk menyesatkan calon pemilih.
 
[startpuisi]Google, misalnya, mendapati bahwa pencarian paling banyak yang mereka catat  adalah “angka final hasil pemilihan”’ “siapa yang memenangkan suara paling populer” dan kata-kata kunci senada. Para pencari diarahkan  oleh blog berita palsu yang menyebut dirinya sebagai “70news” yang mengunggah informasi bahwa Donald Trump memenangkan vote populer sebesar 700.000 walaupun pada kenyataannya Hillary Clinton lah yang unggul dengan lebih dari 798.700 suara secara keseluruhan.[endpuisi]
 
Dalam studi Pusat Penelitian Pew tahun 2016, ditemukan 44 persen warga Amerika Serikat membaca atau menonton berita di Facebook. Saya percaya, angka itu hampir sama dengan apa yang terjadi di sini – khususnya di daerah perkotaan dimana berita beredar dan dikonsumsi melalui telepon genggam, dan pelan-pelan kebiasaan ini membunuh bisnis media arus utama, terutama media cetak.
 
Menariknya, berita memang bukan konsumsi utama di sini. Tidak ada kehausan untuk informasi karena industri media, khususnya yang berplatform digital, hidup dan tumbuh baik di sini. Tentu saja, dengan hukum alam yang berlaku sangat adil pada mereka yang secara bisnis lemah dan mereka yang bisa menemukan keunggulan baru untuk bertahan di jaman yang berbeda.

Media Sosial Jadi Ladang Berita Favorit

Mengapa Facebook dan Twitter atau jejaring sosial gratis lainnya seperti Path akhirnya menjadi ladang berita favorit – dan bukan akun-akun produsen berita? Satu yang pasti baik Facebook, Twitter dan bahkan mesin pencari Google menawarkan kemudahan, kecepatan dan keluwesan memperlakukan berita/informasi. 
 
[startpuisi]Ketika portal berita menawarkan berlangganan daring, ide ini mendapat sambutan dingin, karena konsumen sudah tidak terlalu mementingkan eksklusifitas. Informasi adalah milik semua orang, produk yang paling demokratis karena semua orang, asalkan memiliki gawai yang tepat, akan bisa mengaksesnya. Kecepatan pembaruan informasi (dan kemudahan mendapatkannya tanpa harus repot membayar ini itu) menjadi lebih penting dibandingkan apresiasi terhadap disiplin melakukan tahap-tahap proses pengolahan informasi menjadi berita. Sedikit sekali yang mau memahami pentingnya proses ini dan terutama, pentingnya untuk melahap informasi dengan akal sehat.[endpuisi]
 
Budaya mengkonsumsi berita telah benar-benar berubah. Evolusi dan revolusi pada saat yang sama. Bahkan ketika Dian Yulia Novi, tersangka calon pengantin bom panci, mengakui dia belajar dari Facebook tentang apa yang sekarang diyakininya sebagai jalan amaliyyah istisyhadiyah, banyak pihak masih saja menganggap ini luar biasa.  
 
Seperti banyak orang yang terpesona oleh Hogwart dan segala mambo jambo Harry Potter, berbagai tulisan tentang jihad di Facebook cukup membuat Neng Dian menjadi silent reader yang setia selama kurang lebih satu tahun. Terdengar terlalu mudah untuk cuci otak? Bisa jadi. Namun, suka tidak suka, internet membuat semua hal believable.  Semua menjadi seperti benar dan nyata kalau sudah ada di Internet, lalu disebarkan melalui ruang-ruang grup percakapan.

Jadi Intinya?

Jadi intinya akhirnya kembali ke diri kita. Masing-masing kita sudah memiliki cara pandang dan aspirasi terhadap satu isu, dan sangat manusiawi jika kita mencari atau pada akhirnya mempercayai apa yang senada dengan apa yang ada di kepala kita.
 
Cermati dan pakai logika serta akal sehat kemudian (selalu) pertanyakan pada diri sendiri. Apa benar seperti itu? Masuk akal kah informasi ini? Kenapa hanya ada satu sumber memberitakan ini? Lalu coba cari berita serupa, misalnya dengan kata kunci “kelahiran dajjal”. Yakin, akan banyak sekali artikel serupa yang sudah ada bahkan dari awal 2000-an. Masih akan menganggap itu berita mutakhir? Masih akan berfikir bahwa kita yang eksklusif menerima berita itu dari suami kita?
 
Berharap masyarakat sudah 'dewasa' sepertinya adalah kesimpulan yang terlalu dini kita tarik, tetapi melihat kondisi di mana berita-berita palsu dan menyesatkan didaur ulang dan diunggah seolah-seolah kebenaran, sebaiknya kita pertanyakan lagi apa kita masih akan percaya dengan jari-jemari sembarang orang untuk mengelola informasi dengan telepon pintar mereka?

So, baca, telaah, renungkan logis atau tidaknya dan tetap waraslah menyerap segala informasi. Be a smart mom!

Artikel ditulis oleh Gincu Merah, ibu bekerja dan sahabat Vemale.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading