Sukses

Lifestyle

Saatnya Kita Bersuara, Katakan 'Tidak' pada Pernikahan Anak

Ladies, pernahkah Anda mendengar kutipan yang disampaikan oleh Brigham Young ini, “You educate a man; you educate a man. You educate a woman; you educate a generation." Seorang wanita jelas memiliki peran yang besar di masyarakat. Saat sudah menikah pun, peran wanita akan semakin luas dan penting, tidak hanya untuk keluarga tetapi juga untuk masa depan bangsa.

Di Indonesia, anak perempuan sudah boleh menikah pada usia 16 tahun, dan anak laki-laki 19 tahun. Sementara itu satu dari empat anak perempuan di Indonesia (25 persen) menikah sebelum menginjak usia 18 tahun (Analisis Data Sekunder Sensus 2010 dan Susenas 2012, UNICEF Indonesia).

Padahal, anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun memiliki risiko tinggi untuk tidak melanjutkan sekolah, menjadi ibu pada usia di mana tingkat kesiapan baik fisik maupun mental masih rendah sehingga berdampak pada resiko kematian ibu dan bayi, serta rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan penyakit-penyakit yang menyerang kesehatan seksual dan reproduksinya. Anak perempuan berusia 10-14 tahun lima kali lebih beresiko meninggal pada saat hamil dan melahirkan dibandingkan dengan perempuan berusia 20 – 24 tahun (Laporan UNICEF, 2012).


Ada sejumlah kasus yang menunjukkan betapa berisikonya pernikahan dengan usia mempelai wanita yang masih di bawah 18 tahun. Seperti yang dialami oleh Ayu dan Fitri ini.

Ayu (16 tahun) terpaksa menikah karena didesak orang tuanya. Usia suaminya tiga kali lipat lebih tua darinya dan bekerja di luar kota. Di usia yang masih belia itu, Ayu sebenarnya masih ingin bersekolah. Hanya saja teman-temannya berkata bahwa wanita yang sudah menikah tak pantas bersekolah. Setelah Ayu mengandung, ia pun harus meninggalkan bangku sekolah dan mengurus rumah tangga. Yang lebih ironis lagi adalah suami Ayu sudah tak lagi mengirimkan uang dan malah mau menikahi perempuan lain. Ladies, bisa dibayangkan betapa hancur perasaan Ayu mengalami hal tersebut, benar-benar sangat disayangkan.

Tapi rupanya Ayu tak sendiri. Fitri (17 tahun) di Kolaka, Sulawesi Tengah juga mengalami masalah yang hampir serupa. Gadis yang duduk di bangku kelas dua SMAN 1 Latambaga ini meninggal setelah sebelumnya dilarikan ke rumah sakit akibat meneguk racun rumput. Ibunya menemukannya di dalam kamar setelah mendengar suara seorang yang sedang muntah-muntah sekitar pukul 17.30 WITA. Ternyata Fitri memutuskan untuk bunuh diri karena kaget dengan kemauan ibunya yang akan menjodohkan dirinya. Sang ibu ingin agar Fitri mau menikah dengan kerabat dekat ibunya dan tetep bersikukuh dengan perjodohan itu meski Fitri menolak.

Fitri dan Ayu hanyalah dua dari ribuan anak di bawah umur lainnya yang menjadi korban pernikahan anak. Pernikahan anak ini sendiri sebenarnya adalah hak dasar dan memiliki akibat yang sangat luas. Hak pendidikan terampas, rantai kemiskinan yang tak putus-putus, belum lagi rentannya masalah kesehatan dan kekerasan dalam rumah tangga, masalah-masalah tersebut kerap muncul jika gadis remaja belum cukup umur menikah tanpa persiapan yang matang.

Bangsa pun harus membayar mahal semua dampak negatif dari pernikahan anak. Sebuah pernikahan memang sebaiknya dilakukan dengan persiapan yang matang, fisik, mental, dan spiritual. Tanpa mengesampingkan hak anak untuk belajar, memperoleh pendidikan yang layak, hak atas tubuh yang dimiliki, juga hak untuk hidup demi mendapatkan masa depan yang cerah.

Ladies, saatnya kita bersuara. Yuk, dukung dan tanda tangani petisi agar Mahkamah Konstitusi berkenan mengubah usia sah perkawinan dari 16 tahun menjadi 18 tahun di SINI. Satu tanda tangan yang kita berikan bisa membantu masa depan Ayu-Ayu lain dan menyelamatkan Fitri-Fitri lainnya. It's time for us to embrace a brighther future!

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading